Ditulis oleh: A. Tri Mahendra Junata Putra
Integrated Criminal Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu merupakan mekanisme kerja sama lintas lembaga penegak hukum yang bertujuan menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan negara, masyarakat, maupun individu, baik pelaku tindak pidana maupun korban. Sistem ini menuntut koordinasi yang erat mulai dari tahap penyelidikan, penuntutan, persidangan, hingga pelaksanaan pidana.
Salah satu instrumen penting yang dapat diintegrasikan ke dalam Sistem Peradilan Pidana Terpadu adalah Restorative Justice. Konsep ini memberikan kesempatan bagi pelaku dan korban untuk menyelesaikan perkara secara damai, dengan fokus pada pemulihan kerugian dan hubungan sosial, bukan semata-mata penghukuman. Restorative Justice telah terbukti membantu mengurangi beban perkara di pengadilan, menghindari pemenjaraan yang tidak perlu, dan mengurangi kelebihan kapasitas hunian di lembaga pemasyarakatan.
Namun saat ini, pelaksanaan Restorative Justice baru diatur di beberapa lembaga penegak hukum seperti kepolisian yang dapat melaksanakan proses pemulihan sebelum berkas perkara diserahkan ke kejaksaan, atau kejaksaan yang dapat memfasilitasi proses ini sebelum perkara dilimpahkan ke pengadilan. Bahkan pengadilan pun dapat mempertimbangkannya dalam putusan tertentu. Ironisnya, lembaga pemasyarakatan yang memegang peran vital di tahap akhir proses peradilan pidana justru tidak memiliki kewenangan formal untuk memediasi Restorative Justice.
Ketika seorang narapidana sudah berada di lembaga pemasyarakatan, peluang penyelesaian perkara melalui mekanisme pemulihan praktis tertutup. Padahal, lembaga pemasyarakatan adalah pihak yang setiap hari berinteraksi langsung dengan narapidana, memahami karakter mereka, dan mengetahui perkembangan pembinaan yang telah dilalui. Tidak jarang, justru di tahap inilah muncul titik damai antara pelaku dan korban, khususnya pada kasus-kasus ringan. Sayangnya, Undang-Undang Pemasyarakatan yang berlaku saat ini belum memberikan ruang hukum bagi lembaga pemasyarakatan untuk memfasilitasi Restorative Justice. Akibatnya, narapidana yang sebetulnya dapat diselesaikan perkaranya melalui pendekatan pemulihan tetap harus menjalani masa pidana penuh, sementara lembaga pemasyarakatan terus dibebani masalah kelebihan kapasitas, tingginya biaya operasional, dan dampak sosial yang sebenarnya dapat dihindari.
Memberikan kewenangan formal bagi lembaga pemasyarakatan untuk melaksanakan Restorative Justice bukan hanya soal memberikan keringanan kepada narapidana. Lebih dari itu, langkah ini merupakan strategi rasional untuk memperkuat sistem peradilan pidana terpadu. Dengan adanya peran ini, lembaga pemasyarakatan dapat membantu mengurangi kelebihan kapasitas hunian, menghemat anggaran negara karena berkurangnya jumlah narapidana yang harus menjalani pidana penuh, memulihkan hubungan sosial antara pelaku dan korban, serta berkontribusi aktif dalam penyelesaian perkara yang lebih humanis.
Memang secara umum Restorative Justice lebih banyak diterapkan pada tahap pra-persidangan. Namun, tidak ada aturan yang benar-benar menutup kemungkinan penerapannya setelah putusan pengadilan, selama ada kesepakatan antara pelaku dan korban serta dukungan regulasi yang jelas. Dalam konteks pemasyarakatan, penerapan ini bahkan bisa diintegrasikan ke dalam program pembinaan dan integrasi seperti cuti bersyarat, pembebasan bersyarat, atau cuti menjelang bebas.
Sistem hukum semestinya adaptif terhadap dinamika sosial. Kenyataannya, banyak titik damai baru tercapai setelah pelaku menjalani proses pembinaan di lembaga pemasyarakatan. Fakta ini seharusnya menjadi alasan kuat untuk memberi lembaga pemasyarakatan peran resmi dalam pelaksanaan Restorative Justice. Tanpa payung hukum yang jelas, peluang emas tersebut akan hilang begitu saja, dan sistem peradilan pidana akan terus berjalan pincang dengan menempatkan lembaga pemasyarakatan hanya sebagai eksekutor hukuman tanpa hak menyelesaikan masalah secara substantif.
Jika tujuan akhir hukum pidana adalah pemulihan, maka sudah saatnya regulasi diperbarui agar lembaga pemasyarakatan dapat memfasilitasi Restorative Justice secara resmi dan terukur. Dengan dukungan regulasi dan mekanisme teknis yang tepat, lembaga pemasyarakatan memiliki potensi menjadi jembatan penyelesaian perkara yang lebih manusiawi, mengurangi kepadatan hunian, serta memperkuat tujuan utama pemasyarakatan, yaitu membina narapidana agar siap kembali menjadi anggota masyarakat yang produktif.
Karena pada akhirnya, keadilan bukan hanya milik pengadilan, tetapi juga milik semua pihak yang bekerja di dalam sistem peradilan pidana --- termasuk lembaga pemasyarakatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI