Mohon tunggu...
Andiana ZahwaSalsabila
Andiana ZahwaSalsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa dari program studi Ilmu Ekonomi. Saya betah banget berlama-lama di air, karena renang bukan sekedar hobi untuk saya, tetapi itu adalah cara saya untuk melepas stress dan merasa bebas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Menyelamatkan Kota dari 5 Ancaman

27 September 2025   07:28 Diperbarui: 27 September 2025   07:28 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membayangkan diri saya sebagai seorang wali kota di sebuah kota besar di Indonesia, hal pertama yang muncul dalam benak saya adalah beban berat yang dipikul karena kota besar selalu menjadi magnet. Magnet untuk urbanisasi, magnet untuk perputaran ekonomi, magnet bagi peluang pendidikan, dan juga magnet bagi masalah-masalah kompleks yang selalu berulang. Kota besar bukan hanya sekadar pusat pemerintahan atau pusat bisnis, tetapi juga tempat di mana berbagai lapisan masyarakat bertemu: mulai dari kalangan elit hingga masyarakat miskin kota. Dengan segala kompleksitas itu, pertanyaan utamanya adalah: dalam 10 tahun pertama, masalah apa yang harus diprioritaskan agar kota bisa berkembang secara berkelanjutan?

Jika kita lihat kondisi nyata saat ini, ada lima tantangan utama yang sangat mendesak untuk diatasi: kemacetan dan transportasi, sampah dan lingkungan, perumahan kumuh, lapangan kerja, serta kualitas udara. Semua tantangan itu saling berhubungan dan tidak bisa diselesaikan dengan cara parsial. Namun, jika saya harus menyusun prioritas, transportasi dan kemacetan akan menjadi titik awal, karena pergerakan manusia dan barang adalah urat nadi kota. Tanpa mobilitas yang lancar, semua sektor lain akan terganggu. Setelah itu, masalah sampah dan lingkungan, lalu perumahan, lapangan kerja, dan terakhir kualitas udara sebagai bagian dari agenda jangka panjang.

1. Transportasi dan Kemacetan

Salah satu wajah nyata kota besar di Indonesia adalah kemacetan. Hampir semua kota besar, baik Jakarta, Surabaya, Bandung, hingga Medan, menghadapi masalah serupa. Data dari TomTom Traffic Index tahun 2023 menempatkan Jakarta sebagai salah satu kota termacet di dunia dengan rata-rata waktu tempuh 23 menit 20 detik untuk setiap 10 kilometer. Artinya, waktu produktif masyarakat banyak terbuang hanya untuk duduk di kendaraan tanpa bergerak. Bayangkan jika seorang pekerja rata-rata menghabiskan 2--3 jam per hari dalam perjalanan, berapa banyak energi, waktu, bahkan biaya bahan bakar yang terbuang.

Strategi yang akan saya jalankan adalah memperkuat transportasi publik. Transportasi publik di kota besar tidak cukup hanya tersedia, tapi harus murah, nyaman, tepat waktu, dan terintegrasi. Artinya, satu kartu atau aplikasi bisa digunakan untuk semua moda: bus, kereta, MRT, LRT, hingga angkot. Saya percaya, masyarakat baru mau beralih dari kendaraan pribadi jika transportasi publik benar-benar jadi pilihan yang rasional.

Selain itu, pembatasan kendaraan pribadi perlu dilakukan, terutama di pusat kota. Namun, pembatasan ini tidak bisa dilakukan sepihak. Masyarakat harus disediakan alternatif yang layak dulu. Jika hanya membatasi tanpa menyediakan solusi, kebijakan itu hanya akan menimbulkan protes. Inspirasi bisa diambil dari kota-kota dunia seperti Singapura yang berhasil menekan kepemilikan kendaraan pribadi dengan pajak tinggi, namun di sisi lain menyediakan MRT dan bus yang sangat andal.

2. Sampah dan Lingkungan

Tantangan berikutnya adalah sampah. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia menghasilkan sekitar 64 juta ton sampah per tahun, dan sebagian besar berasal dari perkotaan. Masalahnya, banyak kota besar hanya bergantung pada Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang kapasitasnya semakin terbatas. Sampah plastik bahkan menjadi ancaman baru karena sulit terurai dan sering berakhir di sungai serta laut.

Sebagai wali kota, saya akan mengubah paradigma pengelolaan sampah dari sekadar "buang dan angkut" menjadi "kelola dan manfaatkan". Bank sampah akan menjadi salah satu ujung tombak. Dengan bank sampah, warga bisa mendapatkan nilai ekonomi dari sampah yang mereka pilah. Selain itu, kota juga perlu mendorong hadirnya industri daur ulang skala besar maupun kecil, agar rantai ekonomi sirkular bisa berjalan.

Strategi lain adalah mengubah sampah menjadi energi. Beberapa kota di dunia sudah berhasil membangun pembangkit listrik tenaga sampah. Ini bukan hal mustahil jika pemerintah kota mau bekerja sama dengan sektor swasta. Namun, kunci utama tetap ada di edukasi masyarakat. Jika warga tidak terbiasa memilah sampah sejak rumah tangga, maka sistem sebesar apapun akan kewalahan.

3. Perumahan dan Kawasan Kumuh

Urbanisasi adalah fenomena yang tidak bisa dibendung. Setiap tahun, ribuan hingga puluhan ribu orang pindah ke kota besar untuk mencari pekerjaan atau pendidikan. Namun, tidak semua mampu membeli atau menyewa rumah layak. Akibatnya, permukiman kumuh tumbuh subur. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 mencatat sekitar 7% rumah tangga perkotaan tinggal di kawasan kumuh. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan dan kualitas hidup, tetapi juga memicu masalah sosial seperti kriminalitas.

Strategi saya adalah mendorong pembangunan rumah susun sederhana untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Rumah susun lebih hemat lahan dibanding perumahan tapak, dan bisa dilengkapi dengan fasilitas umum yang memadai. Selain itu, revitalisasi kawasan kumuh harus dilakukan dengan pendekatan partisipatif, artinya masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan, bukan sekadar digusur.

Untuk mendukung hal ini, pemerintah kota bisa bermitra dengan swasta dalam skema public-private partnership. Swasta diberi insentif untuk membangun hunian terjangkau, sementara pemerintah memastikan aturan tata ruang tidak dilanggar.

4. Lapangan Kerja

Kota besar adalah pusat ekonomi, tapi ironisnya, pengangguran tetap tinggi. Tingkat pengangguran terbuka di perkotaan tercatat sekitar 5,79% pada 2024 (BPS). Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi kota belum cukup inklusif untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Banyak anak muda lulus kuliah atau sekolah menengah, tetapi tidak segera mendapat pekerjaan.

Strategi saya adalah memperkuat UMKM dan ekonomi kreatif. UMKM adalah tulang punggung ekonomi lokal, dan terbukti lebih tahan terhadap krisis dibanding perusahaan besar. Pemerintah kota bisa memberikan akses modal dengan bunga rendah, pelatihan digital marketing, hingga membuka akses pasar melalui event atau platform daring.

Selain itu, investasi harus diarahkan pada sektor padat karya, bukan hanya padat modal. Misalnya, industri manufaktur ringan, logistik, atau pariwisata. Kota juga harus menyiapkan kawasan khusus ekonomi kreatif, di mana anak muda bisa mengembangkan ide-ide bisnis mereka dengan dukungan inkubator bisnis dan akses internet gratis.

5. Kualitas Udara dan Perubahan Iklim

Kualitas udara adalah masalah yang sering luput dari perhatian, padahal dampaknya besar terhadap kesehatan masyarakat. WHO tahun 2022 melaporkan bahwa Jakarta termasuk kota dengan kualitas udara yang buruk, dengan polusi PM2.5 jauh melebihi ambang batas aman. Polusi ini sebagian besar berasal dari kendaraan bermotor dan aktivitas industri.

Strategi yang saya rancang adalah memperluas ruang terbuka hijau minimal 30 persen dari luas kota. Taman kota, jalur hijau, dan hutan kota bukan hanya memperindah, tapi juga berfungsi sebagai paru-paru kota. Selain itu, penggunaan kendaraan listrik harus didorong dengan memberikan insentif pajak, subsidi, atau membangun lebih banyak stasiun pengisian baterai.

Untuk industri, aturan emisi harus lebih ketat. Kota tidak boleh kompromi terhadap perusahaan yang merusak lingkungan. Namun, kebijakan ini harus disertai dukungan teknologi agar industri bisa beralih ke sistem yang lebih ramah lingkungan.

Semua strategi di atas tidak akan berjalan jika hanya dilakukan oleh pemerintah kota. Kunci utama keberhasilan adalah partisipasi masyarakat. Warga kota harus diajak merasa memiliki kota, bukan sekadar tinggal di dalamnya. Program edukasi publik, transparansi anggaran, serta ruang dialog yang terbuka akan membuat masyarakat lebih percaya dan mau terlibat.

Dalam 10 tahun pertama, prioritas saya sebagai wali kota adalah memastikan kota ini tidak hanya tumbuh secara fisik, tetapi juga berkelanjutan. Transportasi publik harus jadi pilihan utama, sampah harus bisa dikelola dengan bijak, permukiman kumuh harus berkurang, lapangan kerja harus tersedia, dan kualitas udara harus membaik. Jika semua ini bisa dijalankan dengan konsisten, maka kota bukan hanya menjadi tempat tinggal, tetapi juga tempat yang layak untuk hidup dan berkembang bagi generasi mendatang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun