Penulis : A. Muh. ALI., S.Pd., M.Pd (Dosen jurusan PGSD di UNM) "Anak usia SD seharusnya ada di kelas, bukan di pinggir jalan. Tapi di Makassar, banyak dari mereka justru dipaksa mengamen dan mengemis. Siapa yang sebenarnya menikmati hasilnya?"
Sore itu, di salah satu perempatan jalan yang ramai di Kota Makassar, seorang mahasiswa saya yang sedang menjalankan tugas mata kuliah Perspektif Global—dengan materi trafficking—berhenti sejenak memperhatikan seorang anak laki-laki yang sedang mengamen. Umurnya mungkin tak lebih dari sembilan atau sepuluh tahun. Dengan gitar kecil yang lebih besar dari tubuhnya, dia bernyanyi seadanya, wajahnya terlihat lelah. Di belakangnya, adik kecilnya duduk di trotoar dengan kaleng bekas di depan kaki mungilnya. Suatu pemandangan yang, sayangnya, mulai terasa biasa bagi warga kota ini.
Mahasiswa saya, ditemani dua temannya, lalu mendekat dan mencoba mengajak bicara. Dengan lembut mereka bertanya, “Nak, tinggal di mana ki? Sudah makan?” Tapi bukan jawaban yang didapat—malah si anak langsung menarik adiknya, menutup mulut, dan lari terbirit-birit ke arah gang kecil di seberang jalan. “Kayak mi takut,” ujar mahasiswa saya saat bercerita kembali di kelas. “Kayak mi orang yang dia takuti sedang awasi di sekitar.”
Cerita ini bukan yang pertama saya dengar. Di beberapa titik lampu merah lain, mahasiswa lain juga menemukan hal yang serupa. Anak-anak yang masih usia sekolah—harusnya ada di dalam kelas, belajar menghitung dan membaca—malah berkeliaran di jalanan. Entah mengamen, menjual tisu, atau bahkan sekadar menengadahkan tangan meminta belas kasihan. Dan tiap kali ditanya soal keluarga atau rumah, mereka hanya diam. Ada yang pura-pura tidak dengar. Ada juga yang langsung menghilang.
Kita di Makassar, seringkali melihat pemandangan begini tiap hari, tapi apakah kita betul-betul menyadarinya? Jangan-jangan, kita sudah terlalu kebal, terlalu terbiasa, sampai lupa bahwa ini adalah bentuk kekerasan. Eksploitasi. Bahkan bisa jadi bagian dari perdagangan manusia, yang sasarannya bukan lagi orang dewasa, tapi anak-anak yang tak berdaya.
Sebagai dosen di Prodi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, hati saya hancur melihat kenyataan ini. Anak-anak ini seharusnya memegang pensil, bukan kaleng bekas. Mereka berhak atas pendidikan, kasih sayang, dan masa kecil yang aman. Tapi kenapa mereka malah dijadikan “alat”? Untuk siapa uang dari hasil mengemis itu? Orang tuakah yang menyuruh? Ataukah ada oknum lain yang lebih kejam bermain di balik layar?
Saya tahu, sebagian orang mungkin akan bilang, “Itu karena kemiskinan, Bu. Mereka juga butuh makan.” Tapi ketika anak itu sendiri takut untuk menyebutkan di mana ia tinggal, ketika ia lari saat ditanya tentang orang tuanya, kita harus mulai bertanya: ini kemiskinan atau eksploitasi yang terselubung?
Sebagai warga kota dan pendidik, kita tidak boleh menutup mata. Pemerintah, tokoh masyarakat, dan semua elemen sosial harus duduk bersama, menyelidiki lebih dalam, dan bertindak. Jangan sampai kota yang kita cintai ini menjadi tempat subur bagi praktik perdagangan anak dan eksploitasi anak usia sekolah. Dan jangan sampai anak-anak kita kehilangan masa depan hanya karena kita terlalu sibuk untuk peduli.
Anak-anak itu bertanya dalam diamnya: “Mengemis demi siapa?”
Dan kita—orang dewasa—harus punya keberanian untuk menjawab, dan bertindak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI