pengantar….
Di dunia ini, sebagian besar para guru dan orang dewasa yang bersentuhan langsung dengan anak-anak masih menganggap bahwa kelompok usia belia ini bodoh maka perlu diajar; tidak bertanggung jawab maka perlu disiplinkan; belum matang maka perlu dididik; tidak mampu maka perlu dilindungi; menyusahkan maka tidak usah didengar.
Dengan tarikan nafas yang sama, di pundak anak-anak kerap diletakkan harapan, proyeksi serta ambisi orang dewasa tentang masa depan. Begitulah yang terjadi. Anak-anak memang sering dipandang sebagai pengisi kehidupan di masa yang akan datang. Ketika berbicara anak-anak, segera yang terpikir adalah masa depan. Seolah-olah sudah otomatis. Tetapi, anak-anak juga sesungguhnya warga kehidupan pada saat ini yang patut dihormati dan didengar.
Konstruk berpikir yang seperti itulah yang berkembang di sebagian besar lembaga-lembaga pendidikan. Tak aneh kalau kemudian muncul kritik-kritik tersistematis terhadap peran dan fungsi pendidikan yang diemban oleh sekolah. Kritik-kritik tersebut dilakukan dengan mengembangkan pendekatan-pendekatan dan keberanian-keberanian baru yang berangkat dari semangat bahwa pendidikan sejatinya memiliki kaitan dan menyumbang terhadap kemampuan siswa sebagai warga belajar untuk membangun relasi-relasi sosial. Pernyataan ini relevan dengan pilar-pilar pembelajaran, yaitu:
·Learning to know (pembelajaran untuk tahu)
·Learning to do (pembelajaran untuk berbuat)
·Learning to be (pembelajaran untuk membangun jatidiri yang kuat)
·Learning to live together (pembelajaran untuk hidup bersama secara harmonis )
Meskipun bukan tahapan, jelaslah bahwa learning to live together sejatinya menjadi core lembaga pendidikan yang akan kita dikembangkan. Ini bermakna bahwa pembelajaran untuk tahu, berbuat dan membangun jati diri sebesar-besarnya didorong untuk membangun kecakapan siswa dalam berperan dan mengembangkan hubungan dengan sesama.
Core ini tentunya menjadi tantangan yang membutuhkan penterjemahan-penterjemahan langkah yang tersistematis, sensitif terhadap dinamika dan tentu saja mengandung nilai-nilai pembelajaran pula. Karena itu, yang menjadi tekanan sebenarnya bukan melulu mengutak-atik agar ditemukan formulasi tujuan pendidikan yang jitu dan luhur. Tak ada yang menyangkal dengan keluhuran sebuah tujuan. Namun, luhurnya sebuah tujuan tidak terletak di dalam tujuan itu sendiri, melainkan melekat pula dengan langkah, sarana serta media untuk mencapainya.
pemikiran dasar & prinsip-prinsip ….
Pembelajaran yang akan kita dikembangkan sejatinya berangkat dari dua pemikiran dasar. Pertama, kelompok sasaran pembelajaran adalah anak-anak. Sosok belia ini dalam lingkup keluarga, sekolah, komunitas serta negara kerap terabaikan pandangan dan suaranya. Ini terkait dengan relasi sosial yang terbangun antara orang dewasa dengan anak yang hubungannya cenderung bersifat powerfull-powerless. Hubungan semacam ini berdampak terhadap model pendidikan, yang di sebut oleh Freire sebagai Pendidikan Gaya Bank. Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut:[1]
Guru mengajar
Siswa diajar
Guru tahu segalanya
Siswa tidak tahu apa-apa
Guru berpikir
Siswa dipikirkan
Guru bicara
Siswa mendengarkan
Guru mengatur
Siswa diatur