Story WhatsApp, Instagram, Facebook dan X serta media sosial lainnya, telah menjadi rutinitas harian. Baik untuk membagikan aktivitas maupun saat berlibur sekaligus menikmati pemandangan. Singkatnya story di media sosial telah menjadi bagian dari aktivitas seharian. Lalu, apa makna dari kebiasaan membuat story tersebut?
Tidak dapat dipungkiri story telah menyerupai diari yang mengekspresikan berbagai perasaan dan pengalaman pribadi. Cuman sedikit berbeda antara story dan diari. Kalau story bisa berupa gambar, video, kata-kata dan perpaduan gambar serta kata-kata, sekaligus bisa disertai dengan lagu.
Sedangkan diari dituangkan dalam bentuk kata-kata, kalimat dan menjadi rangkaian paragraf. Lebih tepatnya tertuang dalam tulisan, yang dilakukan secara konsisten. Bisa berupa ungkapan haru, bahagia dan kesedihan, yang menggambarkan perasaan penulisnya. Contoh diari terkenal adalah "The Diary of a Young Girl" tulisan dari Anne Frank.
Perbedaan antara story dan diari, terletak pada kedalaman pengungkapan perasaan. Kalau diari memberikan gambaran mengenai perasaan yang lebih dalam lagi. Sedangkan story bisa mengambil atau meng-copy dari kata-kata atau gambar dan video orang lain. Hal itu, mungkin untuk dilakukan dengan bantuan google.
Lalu, apakah story di media sosial memberikan nuansa otentik? Kaum Storyan (pembagi cerita/kisah di media sosial) lebih banyak mengharapkan feedback dari sesama pengguna media sosial. Akibatnya, alih-alih menebar inspirasi, malah berharap like, share dan comment, agar lebih banyak lagi yang menjangkau. Bagi Kaum Storyan memperoleh respon dari sesama pengguna jauh lebih berarti. Dari pada pesan yang hendak disampaikan lewat story itu.
Perilaku Kaum Storyan itu telah menimbulkan ketergantungan secara psikologis terhadap media sosial. Tidak heran, mereka merasa ada yang hilang dan kurang apabila belum update story. Kondisi itu membuat Kaum Storyan lebih labil, mudah dikontrol perasaannya lewat algoritma media sosial. Kontrol diri sebagai pengguna media sosial kadang telah lenyap, Kaum Storyan sering kehilangan kebahagiaan apabila belum update story.
Kaum Storyan perlu sejenak mengambil jarak terhadap aktivitas media sosial. Sedikit saja atau barang sejenak, sambil berpikir apakah dengan  update story bisa membuat bahagia? Kalau hanya sekedar berburu like, share dan comment, terlalu simpel membiarkan diri larut dan tenggelam dalam media sosial. Bukankah kehidupan jauh luas untuk dijelajahi, dari sekedar berselancar di media sosial. Memetik makna di kehidupan nyata jauh lebih mendalam, dibandingkan meng-unduh gambar, video dan lagu serta meng-copy kata-kata di google.
Kesadaran akan diri dan kemampuan berpikir, menjadi kebutuhan bagi Kaum Storyan agar tidak lagi melihat media sosial, sebagai satu-satunya ruang bagi ekspresi diri. Kemampuan berpikir juga teramat mengasyikkan dan menggairahkan, untuk dijejaki dan ditelusuri. Apakah Kaum Storyan sudah pernah menjejaki dunia filsafat yang lebih menantang?
Hanya berbekal pertanyaan untuk membuka ruang berselancar di dunia filsafat. Kaum Storyan bisa mengajukan pertanyaan, apakah update story itu memiliki makna atau sekedar pemenuhan hasrat? Kalau itu bermakna, mengapa membuat perasaan khawatir apabila tidak mendapat respon? Jika itu sekedar pemenuhan hasrat, namun setelah update story semuanya bisa menjadi hampa. Anehnya, kehampaan itu terus berulang.
Kalau sudah berada dalam kondisi hampa, maka Kaum Storyan harus segera berlabuh di dermaga filsafat. Untuk lebih mendalami dan mencari makna, agar hidup yang dilakoni mampu dipahami.
Salam dari warga