Mohon tunggu...
Andhara Ardhany
Andhara Ardhany Mohon Tunggu... -

seorang Penyiar Radio di salah satu radio swasta terkenal di Kab.Gorontalo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Buku Terakhir

10 Februari 2015   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:30 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jika cerita hidup manusia bisa diskenariokan maka kisah itu pun bisa kutulis, kurangkai, kubuat alurnya dengan proses yang melewati sedih, melewati airmata dan akhir ceritanya adalah bahagia...

Catatan yang telah ditulis oleh wanita berjilbab panjang di dalam buku hariannya yang sempat kubaca saat ia membuka buku itu. Wanita bermata bening tanpa kesedihan tergambar dari raut wajahnya. Ia duduk tepat di samping kananku. Kumenemukannya di halte depan kampus saat menunggu angkutan umum yang akan berhenti di depan halte itu. Hanya aku dan dia yang duduk di halte itu sambil menunggu angkutan umum. Ia menutup bukunya. Melambaikan tangannya ke salah satu mobil angkutan umum yang perlahan berjalan ke arah halte. Aku tak sempat menanyakan namanya. Ia bergegas pergi. Aku segera memberhentikan mobil itu dan naik. Walaupun sopirnya kelihatan marah karena aku yang sudah ditawari untuk naik, tapi aku tak menggubrisnya, karena tertegun melihat wanita itu. Merasa sejuk kala melihat wajahnya, seperti tak punya beban saja.

Di dalam mobil, aku dan dia duduk berdekatan, hanya senyum yang tergilas indah menyapaku. Hebatnya ia duduk dengan senyum yang bisa membuatku harus ikutan membalas senyumnya. Padahal di kampus tadi bibir ini susah kugerakkan untuk mengukir senyum pada siapa saja yang bertemu denganku selepas keluar dari ruangan ibu Nur, dosen pembimbingku untuk skripsi. Tapi berbeda dengan wanita ini. Apa mungkin, karena kulihat tulisan di buku hariannya tadi yah? tanyaku dalam hati.

Lima belas menit dalam mobil angkutan telah berlalu dengan keheningan antara aku dan dia, hingga kami berdua turun di toko buku. Ternyata ia pun ke tempat itu. Kami berjalan searah seperti menuju tempat yang sama.  Toko buku. Ya.. di toko itu kulihat ia sementara berbincang-bincang dengan pemilik toko dan kulihat pemilik toko memberikan sebuah buku.

Aku mencoba memberanikan diri menanyakan perihal buku itu. Aku tak salah, dengan suasana yang tepat.

“Boleh saya lihat bukunya..?”

“oh ya.. ini..” Ia menyodorkan buku itu padaku.

Aku pun mengamati seteliti mungkin isi dalam buku itu. Benar saja, buku ini adalah buku yang diperintahkan ibu Nur padaku untuk segera kumiliki sebagai acuan skripsiku. Aku telah lama mencarinya, karena buku inilah kenapa sampai saat ini cemberut terus hadir menetap dalam wajahku.

“Waaaahhh.. waaahh.. Alhamdulillah.. ternyata buku ini hadir juga setelah sekian lama kucari dan kutunggupekikku nyaring. Perasaan gembira pun kuluapkan dengan suara bernada tinggi sehingga pemilik toko dan pengunjung lainnya menatapku dengan sinis.

“Ukhti ingin memilikinya juga?”ia melihatku yang tanpa sadar telah mengambil buku itu dari tangannya karena kegirangan menemukan buku itu.

Betapa malunya aku dengan ketidaksopananku pada wanita itu.

“Maaf..maaf.. saya tak bermaksud lancang seperti ini.”

“Tak apa Ukhti..”

Lalu aku pun meninggalkannya, dan segera berlari kecil menuju pemilik toko buku.

Maaf pak, buku tentang metodologi penelitian kualitatif  yang sama persis seperti buku di tangan wanita itu masih ada? tanyaku sambil menunjuk ke arah wanita itu. Arah telunjuk kananku padanya hanya disambut oleh ukiran senyuman indah darinya.

“Maaf Mbak, Buku itu sudah laku terjual, dan kami sudah tak punya stoknya lagi.”

“Tapi, kenapa wanita itu bisa dapat bukunya pak?”

Maaf ya mbak, wanita itu sudah jauh hari membeli bukunya, namun buku itu untuk sementara masih kami simpan. Agar tak diketahui oleh suaminya.”

“Haaaaaaa? Emang kenapa suaminya?” terlintas banyak tanya dalam benakku.

“Suaminya besok berulangtahun, saat ini suaminya juga menulis karya ilmiah sebagai persyaratan untuk meraih gelar sarjana” terang bapak tua pemilik toko buku sambil melayani pertanyaan dari anak buahnya tentang berbagai jenis buku yang ditanyakan oleh pengunjung toko.

“ohhh....”

Aku mulai bingung, bagaimana caranya agar bisa memiliki buku itu. Kalau saja bisa ku fotocopy pasti akan ku fotocopy buku itu tapi ibu Nur tak mau melihat copian, yang ada malah aku akan diomeli dengan kalimat andalannya.

“Nanda, kau tau saya adalah dosen yang paling tidak suka mahasiswa pada studi akhirnya tak punya buku aslinya, hanya mengandalkan fotocopy yang cetakannya kabur dan hmm... tak ada bagusnya ketika melihatnya dan membacanya apalagi tulisannya kecil-kecil saat dicopy, terlalu miskinnya kau.” Begitulah kalimat yang mungkin akan keluar dari mulut manis beliau. Pokoknya semua kalimat yang keluar dari pembimbingku adalah kalimat-kalimat pedas yang melebihi cabe rawit. Tak heran kalau keluar dari ruangannya pasti dengan cucuran airmata yang membasahi pipi. Maklumlah aku tergolong mahasiswi penakut dan bermental kerupuk. Kadang itu semua merapuhkan semangatku untuk memperjuangkan studi akhirku, mungkin karena aku terlalu bermain dengan perasaan kali ya..

“Mbak.. Coba saja dipinjam dan difotocopy saja sama wanita itu, dia orangnya sangat baik” kalimat dari pemilik toko membuyarkan ingatanku tentang ibu Nur.

“Tapi saya tak kenal dia, bahkan namanya pun saya tak tau”

“Namanya Khairun” pemilik toko itu memberitahukan nama wanita itu.

Aku menghampirinya yang telah menuju pintu keluar, sepertinya ia akan pergi. Kuberanikan diri mengejarnya. Di halaman luar toko buku, kumencegah langkahnya dengan menyebut namanya.

“Mbak Khairun?”

“Ya..” langkahnya terhenti lalu menoleh ke arahku yang memanggil namanya.

Aku memberi senyum padanya.

“Mbak Khairun, perkenalkan saya Nanda, yang tadi sudah tanpa sengaja mengambil buku dari tangan Mbak” ku ulurkan tanganku padanya sebagai ungkapan perkenalan.

“Iya Nanda. Kenapa?

“Bolehkah saya beli buku yang mbak bawa itu?” mohonku padanya

“Maaf Nanda,  saya tak bisa menjual buku ini”

Seketika pupuslah harapan masa depanku, mataku mulai berkaca-kaca seakan ingin menangis memohon padanya. Khairun mengerti kala melihat perubahan wajahku yang sangat kacau.

“Ukhti.. jika kau inginkan buku ini, aku akan meminta izin terlebih dulu pada suamiku, karena besok dia berulangtahun, dan ini adalah kado yang ingin kuberikan padanya. Kalau kau mau besok siang silanhkan datang ke rumah. Ini alamat rumah saya”

Ia memberikan alamat rumahnya yang sudah ditulis disecarik kertas dari buku hariannya, entah buku harian, buku agenda, pastinya terdapat banyak catatan di dalam buku dengan banyak lembaran itu dan bersampul warna biru tua.

Ia pun berlalu meninggalkanku yang sementara memperjelas kembali alamat rumahnya. Kuputuskan untuk balik lagi ke toko buku itu. Dan pemilik toko itu menyapaku kembali.

“Gimana Mbak?”

“Hmm.. begitulah pak.. katanya buku itu kado buat suaminya, wanita itu mungkin pelit ke saya ya pak?” tanyaku menjurus ke curhat pada bapak tua bersemangat tinggi yang tergambar dari raut wajah beliau dengan semangat empat limanya melayani para pembeli berbagai jenis buku.

“Sabar saja ya mbak.. Oh ya Mbak saya mau kasih tahu satu lagi, Khairun itu umurnya masih 19 tahun.”

“Haaaaaaaaaaaaaa??” Mataku melotot. Tak percaya karena  sudah salah telah mengira kalau umurnya lebih tua dariku.

“Iya Mbak..”

“Tunggu..tunggu.. Bapak tahu darimana?”

“Mbak.. Mbak Khairun itu sudah tiap hari mengunjungi toko kami”

“Ohhhhhh....”

***

Hari yang kutunggu akhirnya datang juga. Berharap hari ini bisa mendapatkan buku itu. Masih mencari alamat rumahnya di siang hari yang begitu panas, matahari seolah lagi ingin memanaskan semangat dunia seorang pengembara di siang hari.

Aku terperanjat saat kulihat alamat yang kutuju terdapat banyak orang berkumpul dengan memakai pakaian putih-putih dan keranda yang berada di halaman rumah yang telah bertenda. Semakin membingungkanku. Kutanyakan tentang alamat rumah dan nama pemiliknya pada salah satu warga yang akan berkunjung ke tempat itu. Dan itu benar alamat milik Khairun.

“Ibu.. siapa yang meninggal?” tanyaku pada warga yang akan mengunjungi rumah Khairun.

“Suaminya Khairun Mbak. Meninggalnya subuh tadi dengan tiba-tiba tanpa sakit mbak” terangnya secara serius padaku.

Mendengarnya langsung kuberanikan diri untuk masuk ke halaman rumah dan aku di persilahkan oleh keluarga ke dalam rumah duka. Setelah segala sesuatunya selesai akhirnya jenzahnya pun di pindahkan ke keranda dan segera dikuburkan di tempat pemakaman umum yang tak jauh dari rumah Khairun. Saat jenazah telah dikubur. Kuperhatikan Khairun, tanpa airmata yang keluar, namun wajah kusamnya tak bisa berbohong bahwasanya ia telah kehilangan dan sedihnya harus menjanda di usia muda, aku tak bisa membayangkan jika ada di posisinya Khairun. Aku berdiri dibelakang Khairun bersama wanita separuh baya disampingnya yang sementara berdiri termenung melihat kuburan itu. Aku sempat mendengar kalimat Khairun kepada wanita tua itu. “Ibu.. jangan menagis.. kalau ibu menangis Khairun juga akan menangis, ibu jangan memperlihatkan airmata dihadapanku saat yang kita cintai telah pergi, karena airmata bisa merapuhkanku”

Kalimat itu menyadarkanku, bahwa ia saja yang telah kehilangan suami yang ia cintai, masih merasa kuat dengan air mata yang disimpannya secara dalam, karena ia tahu airmata akan merapuhkannya. Bagaimana denganku? yang baru dimarahi ibu Nur saja airmataku tak dapat kubendung.

“Nanda.. “ aku kaget dalam lamunanku, saat terdengar ada yang memanggil namaku, ternyata Khairun.

“Iya Khairun..”

“Ini bukunya..” Khairun menyerahkan buku itu padaku.

“Maafkan aku Khairun”

“Tak perlu minta maaf, semua sudah menjadi takdirku, yang harus dilakukan adalah bersyukur atas skenario Allah.”

Ia menggenggam tanganku yang memegang buku yang sangat kuimpikan. Namun tak ada perasaan senang saat buku itu ada ditanganku, yang ada adalah perasaan sedih. Aku harus belajar kuat dari seorang wanita yang bernama Khairun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun