Mohon tunggu...
Chermansyah
Chermansyah Mohon Tunggu... Dosen - Pegiat literasi, hukum, sosial dan budaya

Tetaplah menjadi orang yang tawadhu dan menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Adzan VS gonggongan ( SE Menag No. 5 Tahun 2022 )

25 Februari 2022   16:00 Diperbarui: 26 Februari 2022   17:07 521
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.okezone.com

Penulis : Chermansyah

Negara Republik Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman suku,  budaya, ras, dan agama, sehingga disebut sebagai negara yang bersifat pluralisme. Adanya interaksi sosial antara berbagai kelompok masyarakat menunjukkan adanya rasa saling menghormati dan saling toleransi antara satu dengan yang lainnya demi mewujudkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat yang saling berdampingan.

Baru-baru ini jagat dihebohkan dengan adanya isu tentang aturan toa yang tentunya justru  menjadi sorotan publik terkait adanya Surat Edaran yang diterbitkan oleh Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2022 yang selanjutnya disebut sebagai SE Menag tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara (Toa) di masjid maupun mushala. Surat Edaran tersebut ditandatangani oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas pada 18 Februari 2022 lalu, dan hal tersebut justru menimbulkan pro dan kontra di berbagai kalangan masyarakat.

Menteri Agama mengungkapkan bahwa penggunaan pengeras suara di masjid maupun mushala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam di tengah masyarakat. Namun disisi lain, masyarakat Indonesia yang kehidupannya beragam, baik agama, mapun berbagai latar belakang yang berbeda tentunya diperlukan upaya untuk merawat persaudaraan dan harmonisasi sosial. Adapun pedoman tersebut dibuat dengan tujuan untuk menjadi pedoman dalam penggunaan pengeras suara baik bagi pengelola masjid maupun mushala. Dalam SE Menag tersebut mengatur tentang penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan mushala. Penerbitan SE Menag dilakukan dengan tujuan meningkatkan harmonisasi kehidupan bermasyarakat yang bersifat pluralisme.

Seiring dengan diterbitkannya SE Menag tersebut memunculkan opini dari berbagai elemen masyakat, ada yang memunculkan opini yang sifatnya pro dan ada pula yang kontra. Jika dilihat dari kacamata hukumnya, pengaturan tersebut dianggap sah-sah saja, karena bertujuan untuk menciptakan tatanan masyarakat yang damai dan tenteram. Salah satu contoh misalnya ketika ada umat non muslim yang tinggal dekat dengan masjid atau bahkan bersebelahan dengan tempat ibadah umat Islam, tentunya toa akan langsung mengarah pada rumah warga tersebut, terlebih lagi jika warga tersebut memiliki bayi atau keluarga yang sedang sakit maka tentunya akan dianggap mengganggu, sehingga perlu diatur tentang volume penggunaan toa. Karena bagaimanapun juga suara adzan merupakan panggilan untuk umat muslim untuk melaksanakan ibadah dan menunjukkan bahwa waktu shalat telah masuk. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang beragama non muslim menganggap bahwa lantunan suara adzan merupakan salah satu suara yang syahdu ketika di dengarkan, ibaratnya ketika masyarakat senang mendengarkan lagu-lagu Barat maupun India sekalipun mereka tidak mengerti maknanya, namun mereka tetap menikmati setiap nadanya.

Jadi tidaklah salah jika aturan tersebut dibuat oleh Menag sebagai pedoman atau tuntunan untuk meningkatkan harmonisasi sosial, namun perlu juga dilihat dari sisi lain yang ketika satu daerah memiliki masyarakat yang mayoritas beragama Islam tentu sudah menjadi tradisi, sehingga aturan tersebut tidak dapat dipukul rata untuk setiap daerah.

Namun yang menjadi problem bukanlah aturan mengenai toa, akan tetapi sebuah pernyataan yang sangat disayangkan oleh umat muslim yang dilontarkan oleh Menag, sehingga memunculkan kontroversi pada berbagai kalangan masyarakat, dimana pernyataan tersebut mengilustrasikan suara adzan dengan gonggongan anjing. Dalam pernyataan tersebut mengungkapkan bahwa seandainya dalam suatu kompleks yang setiap warganya memelihara anjing dan menggonggong secara bersamaan, maka akan membuat masyarakat menjadi tidak nyaman dan merasa terganggu dengan suara gonggongan anjing tersebut.

Namun dalam konteks lain, statement yang dilontarkan oleh Menag seharusnya dapat lebih bijak dan penuh kehati-hatian dalam menyampaikan argumentasinya, terlebih argumen yang disampaikan dimuka publik dianggap mengandung makna negatif karena tidak sepantasnya suara adzan disandingkan dengan suara gonggongan anjing, karena sesungguhnya pernyataan tersebut justru mencederai hati umat Islam. Sebagaimana pribahasa mengatakan bahwa “mulutmu harimaumu” yang mengandung makna pesan verbal agar setiap orang dapat menjaga lisannya dan menggunakannya dengan baik. Dalam pemilihan diksi sebaiknya Menag mengumpamakan suara adzan dengan sesuatu yang bermakna positif sehingga tidak memunculkan spekulasi yang negatif di tengah masyarakat, walaupun maksud yang ingin disampaikan tujuannya baik, namun karena adanya penggunaan diksi yang kurang tepat, maka masyarakatpun mencernanya secara tidak tepat.

Jadi, pada prinsipnya walaupun Menag tidak menerbitkan SE Nomor 5 tahun 2022 sesungguhnya toleransi dalam beragama juga sudah diatur dalam makna butir-butir Pancasila, bahwa setiap masyarakat harus saling bertoleransi tidak hanya dalam kehidupan bermasyarakat namun juga dalam kehidupan bernegara terlebih dalam kehidupan beragama. Sehingga dengan adanya slogan Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadikan spirit keberagaman masyarakat yang harus dipupuk pada jiwa bangsa Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun