Mohon tunggu...
Anastasia Arvirianty
Anastasia Arvirianty Mohon Tunggu... -

esfp jurnalis. kaum penglaju Jakarta. anak kemarin sore.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Refleksi tentang "Bebas"

6 September 2016   13:56 Diperbarui: 6 September 2016   18:10 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Ah, gw emang ga pernah bisa bebas."

Kalimat yang belakangan ini sering saya dengar dari seseorang yang merasa dirinya tidak pernah bisa merasa bebas. Apalagi ketika dia sudah dihadapkan pada suatu kondisi yang membuat dia ujung-ujungnya kembali melontarkan kalimat yang menyatakan dan mengeluhkan betapa tidak bebasnya dia.

Sebenarnya, apa sih definisi bebas itu?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bebas/be·bas/ /bébas/ a 1 lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa): tiap anggota -- mengemukakan pendapat; burung itu terbang -- di angkasa; 2 lepas dari (kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya): hari ini ia -- dari kewajiban mengajar; karena memang tidak bersalah, ia -- dari tuntutan; 3 tidak dikenakan (pajak, hukuman, dan sebagainya):surat dinas ini -- bea; 4 tidak terikat atau terbatas oleh aturan dan sebagainya: obat itu dijual -- dan terdapat di setiap apotek; 5 merdeka (tidak dijajah, diperintah, atau tidak dipengaruhi oleh negara lain atau kekuasaan asing): sehabis Perang Dunia II banyak negara yang --; politik luar negeri yang -- dan aktif; 6 tidak terdapat (didapati) lagi: negara kita belum -- buta huruf; daerah ini sudah -- cacar.

Jika dilihat, ada enam definisi dari bebas, yang apabila diambil sari dari enam definisi tersebut, intinya bebas adalah keadaan lepas, tidak terhalang, merdeka, dan semacamnya. Namun, rasanya definisi tersebut mesti dikaji ulang. Sebab, menurut saya, yang namanya bebas itu relatif, tergantung bagaimana seorang manusia menyikapi keadaan dan kehidupannya.

Tetapi, jika bebas yang diinginkan adalah suatu kondisi bebas mutlak, lepas sama sekali tidak terhalang ini-itu, sepertinya kondisi tersebut belum saya temukan sampai saat ini. Mengapa saya bisa bilang begitu? Baiklah, mari berangkat dari sebuah contoh. Ingatkah kalian akan sebuah iklan layanan provider untuk ponsel yang di dalamnya menyinggung tentang "kebebasan"? Ada dua versi dari iklan tersebut, versi wanita dan pria. Begini bunyi iklannya:


versi wanita

Kebebasan itu omong kosong.

Katanya aku bebas berekspresi, tapi selama rok masih di bawah lutut.

Hidup ini singkat, mumpung masih muda, nikmatin sepuasnya,

Asal jangan lewat dari jam 10 malam.

Katanya urusan jodoh sepenuhnya ada di tangan ku.

Asalkan se-suku, kalau bisa kaya, pendidikan tinggi, dari orang baik-baik…

Katanya jaman sekarang pilihan itu gak ada batasnya,

Selama ikutin pilihan yang ada.

Think Again!                                                                      

versi pria

Kebebasan itu Lucu.

Katanya bebas berteman dengan siapa aja, asal orang tua suka.          

Kebebasan itu Fantasi.

Katanya urusan jodoh sepenuhnya ada di tangan, asalkan dari keluarga terpandang. Ga cuma cantik, tapi juga santun, berpendidikan.

Kebebasan itu teori.

Katanya jadi laki-laki itu jangan pernah takut gagal, tapi juga jangan bodoh untuk ambil resiko. Mendingan kerja dulu cari pengalaman.

Katanya zaman sekarang pilihan itu ga ada batasnya, selama mengikuti pilihan yang ada.

Think Again!



Dari iklan itu, saya bisa menyimpulkan, bahwa yang namanya bebas mutlak itu tidak ada, atau mungkin belum ada. Manusia memang diberi hak bebas, namun selama masih ada norma, aturan, hukum, adat istiadat, atau kondisi-kondisi lainnya yang bersifat membatasi, selama itu pula bebas mutlak itu akan sulit dicapai. Manusia memang bebas, tetapi bebas terbatas. Ironisnya, manusia sendirilah yang membuat batasan itu, baik yang sifatnya membangun maupun yang sifatnya destruktif.

Contohnya?

Untuk batasan membangun, bisa kita ambil contoh Undang-Undang (UU) yang dibuat untuk mengatur suatu negara. Tanpa adanya UU, suatu negara bisa chaos nantinya. Tetapi, untuk batasan destruktif, ambillah contoh SARA. Kita dibebaskan berteman, bergaul dengan siapa saja, tetapi tidak jarang diselipkan "asalkan jangan sama yang sukunya ini, asalkan jangan sama yang agamanya itu".

Ujungnya? Masih sering kita jumpai ada suatu agama yang menyerang agama lain, atau suatu suku yang menyerang suku lain. Tidak jarang pula, ada orang tua yang melarang anaknya bergaul dengan suku ini, atau orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan yang sesuku saja, dan tindakan rasisme lainnya yang membuat Bhinneka Tunggal Ika dipertanyakan, ajaran agama dinomorduakan, dan relasi menjadi tidak baik. Sehingga, kembali lagi, mungkinkah yang namanya bebas mutlak itu utopis?

Saya juga pernah dengar, seseorang melontarkan kalimat, "Jika ingin bebas mutlak, sana hidup di hutan saja!"

Kalimat itu pun rasanya perlu dikoreksi, sebab, bahkan di hutan pun ada batasan yang namanya Hukum Rimba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun