Mohon tunggu...
Levianti
Levianti Mohon Tunggu... Psikolog, Dosen Psikologi Universitas Esa Unggul

Suka diam sejenak, refleksi, menulis, dan ngoepi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fungsi Terapi dari Stand Up Comedy

1 Februari 2025   11:48 Diperbarui: 2 Februari 2025   14:40 1839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semangat baik, pembaca yang budiman.

Saya ingin berbagi perasaan gembira, yang hadir sejak malam kemarin, dan masih bertahan hingga pagi ini. Penyebabnya lagi-lagi karena menonton acara Stand Up Comedy di Kompas TV, yang sukses melahirkan tawa tulus dari kedalaman hati. Sebuah momen langka nan berharga di era saat ini, bukan?! Tolong jangan spontan dijawab: "Bukan...!" Hehehehe....

Pasalnya sebelum itu, hati saya seperti ditusuk dari belakang, oleh kelakukan aparatur negara yang kongkalikong dengan kingkong dalam menjual lahan milik kita bersama, namun untuk kepentingan diri mereka saja. Dasar monyet! Eh, ada unsur SARA, suku-agama-ras-ANTAR GOLONGAN. Maafkeun ya, saya siap salah. Hehehehe....

Baca juga: Sungai Emosi

Jujur, perasaan saya terluka. Bukan karena tidak diajak ikut serta dalam pesta durian runtuh bersama kelompok mereka, a-kan te-ta-pi ka-re-na ...

Dan nurani saya pun kini terbata-bata. Sebenarnya bilamana mau jujur diakui, ide mereka untuk mengubah area laut menjadi darat termasuk kreatif, sejauh sudah dilengkapi dengan ragam pertimbangan yang komprehensif dan akurat, termasuk mitigasi risiko dari reaksi alam.

Maka apakah benar, saya merasa terluka karena tidak ikut memperoleh keuntungan? Andaikata ide kreatif itu didiskusikan dan disepakati bersama untuk kesejahteraan seluruh rakyat, bisa jadi kelakuan mereka tidak dianggap jahat, melainkan malah dianugrahi penghargaan sebagai pahlawan bangsa.

Apakah moralitas orang Indonesia sebatas itu? Keputusannya akan benar-salah tergantung pada ikut/tidak kebagian jatah, termasuk ke dalam/berada di luar golongan, dll.?

Terkait cacat moralitas tersebut akhirnya dapat saya lihat kemarin dari sudut pandang komika yang lucu. Fajar Mukti bercerita tentang salah satu budaya orang Jawa, yaitu sungkan. Namun ia tidak mempercayainya, karena kalau betul orang Jawa berbudaya sungkan, tentu saat anaknya yang di bawah umur ditawari jabatan, ia akan menolak dan menyatakan untuk tidak usah begitu. Yang membuat penampilan itu lucu adalah nada bicara Komika menyerupai nada bicara salah satu aparatur negara.

Hehehehe... ngga lucu ya, kalau saya yang menceritakan ulang?! Baik, kalau begitu, yuk kita tonton sejenak penuturan Fajar Mukti, yang sukses membuat saya bahagia, pada link youtube berikut:


Hehehehe..., hehehehe..., bagaimana, lucu menghibur, bukan?! Bukan....

Yes, menurut saya juga demikian. Penampilan Fajar Mukti bukan hanya lucu menghibur, namun turut menyembuhkan luka hati bangsa. Dengan spontan dan tulus tertawa, terselip rasa menerima kekurangan yang ada pada sosok pemimpin, mengingat ia pun adalah manusia biasa. Di samping itu, secara bersamaan, juga kembali menyeruak rasa hormat kepada bapak bangsa, atas kontribusinya yang signifikan.

Sungguh luar biasa, bukan?! Bukan: "Bukan...!", kalau mau jadi tulisan lucu. Hehehehe.... Maaf ya, saya tidak lucu, walau saya coba melakukan itu. Untung, saya bukan komika, jadi tidak membuat kecewa saat gagal memecah tawa.  

Memang benar, keinginan dan standar harapan pribadi merupakan salah satu kunci penyebab luka. Saat saya tidak menaruh ekspektasi tinggi pada sosok pemimpin, saya pun tidak akan jadi mudah terluka oleh perbuatannya yang tidak sesuai standar/norma.

Dalam teori modifikasi perilaku, perbuatan pemimpin dan aparatur negara yang tidak sesuai harapan masyarakat merupakan aspek stimulus. Adapun "ekspektasi tinggi terhadap mereka, sehingga membuat masyarakat frustasi, kecewa, dan terluka manakala perilaku mereka tidak sesuai harapan" merupakan aspek anteseden / faktor penyebab. Sementara luka itu sendiri adalah hasil dari stimulus yang berpasangan dengan anteseden, alias aspek respon.

Restrukturisasi kognisi dilakukan oleh Albert Ellis untuk menghasilkan respon yang berbeda terhadap stimulus penyebab yang sama. Saat menghadapi masalah, atau situasi hidup yang tidak sesuai harapan, seseorang otomatis akan mencari solusi untuk mengatasi masalahnya. Namun, seringkali orang menjadi terlalu serius dalam usaha menyelesaikan permasalahan, sampai-sampai kehilangan sensasi humornya.

Ellis pun mengembangkan teknik REBT (Rational Emotivel Behavior Therapy) untuk mengubah sudut pandang pemikiran dan perasaan dengan cara melakukan tindakan tertawa dari menikmati humor yang terkandung dalam permasalahannya. Sebagai contoh, ia mengajarkan lagu humor untuk dinyanyikan oleh kliennya yang gundah. Berikut di bawah ini teks lagu humornya. Silakan dihafal agar tidak perlu menyontek, hehehehe....

Love me, love me, only me,

Or I will die without you 

make my Your love a guarantee so I can never doubt you

Love me, love me totally 

Really try, really try, dear

For a few man love I hate you till I die, (there goes on)

Terjemahannya:

Cintai aku, cintai aku, hanya aku,

Atau aku akan mati tanpamu

jadikanlah cintamu sebagai jaminan agar aku tidak pernah meragukanmu

Cintai aku, cintai aku sepenuhnya

Coba banget, coba banget, sayang

Untuk beberapa pria cinta aku membencimu sampai aku mati, dst.

Menurut Ellis, lagu humor tersebut pada awalnya akan berfungsi untuk mengangkat kegundahan sehingga berpeluang untuk diamati akar masalahnya dan dipecahkan.

Setelah menyanyikannya beberapa kali, klien akan tersadar perihal harapannya yang tidak realistis, atau berlebihan, sehingga pastilah gagal terpenuhi. Klien akan merasa dirinya bodoh karena selama ini mempertahankan keyakinannya yang keliru. Ia seperti menonton sebuah pertunjukan mengenai seseorang yang sedang menjerat dirinya sendiri, sampai kelimpungan dan mau mati. Ia lalu dapat melihat kebodohannya sebagai sebuah kelucuan.

Saat klien spontan tertawa atas kebodohan yang ia lakukan, ia pun tulus menerima keadaan dirinya secara apa adanya. Keseriusan berlebihan akan mengendur. Cakrawala pandangnya menjadi lebih lapang. Sikapnya lebih objektif. Ia pun dapat menentukan langkah perubahan nyata sederhana, yang dapat dilakukan oleh dirinya, yaitu melepaskan harapannya yang tidak realistis, sehingga tamatlah riwayat sang gundah hati.

Kalau dunia psikologi Amerika punya Albert Ellis sebagai penemu teknik REBT, dunia psikologi Indonesia memperoleh sumber daya komika dari Stand Up Comedy di Kompas TV sebagai terapi gratis. Moralitas bangsa Indonesia secara natural memang sungguh luar biasa arif. Hehehehe... salam ngga lucu!***(eL)

 

Referensi:

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun