Mohon tunggu...
Ananta Damarjati
Ananta Damarjati Mohon Tunggu... Wartawan -

Wartawan partikelir | Alumni Ponpes Kedunglo, Kediri |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Modernitas dalam Ilusi Waktu

2 November 2016   16:50 Diperbarui: 2 November 2016   19:55 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dari sudut manapun tidak dapat disangkal, kita telah sampai pada sebuah postulat bahwa kita akan dan telah modern dengan sendirinya. Mau tidak mau, suka tidak suka, zaman ini menuntut kita untuk masuk ke dalam mekanisme dengan parameter kecepatan. Kalau tidak cepat, segera terlibas, yang lambat dan tidak bergerak maju pun langsung tanpa bertele-tele dapat dicap kuno, out of dated.

Dari situ bisa dikatakan, waktu menjadi parameter tunggal untuk menilai sebuah kecepatan. Lantas, sudah benarkah konsep modernitas yang kita rasakan dan kita selebrasi bersama ini jika parameternya adalah waktu sebagaimana konsep waktu yang jamak terpakai sekarang?

Modernitas yang kita ikuti sekarang, patut diingat, bukanlah kita yang memegang kendali, melainkan peradaban lain yang paradigmanya secara nyata menentukannya dengan berbagai –mengutip kalimat Don Corleone dalam The Godfather- tawaran yang tidak bisa kita tolak.

Kita tidak bisa dengan semena-mena menolak simbol modernitas yang sangat menyenangkan dan sangat kita butuhkan, commuter line misalnya, yang sekarang menjadi moda transportasi pemecah kebuntuan orang-orang yang sedang menuju kepentingannya masing-masing. Atau moda lain yang berbasis aplikasi, cepat, mudah, fleksibel.

Contoh lain, provider koneksi internet pun tak kalah berlomba-lomba dalam hal kecepatan. Inipun hal yang tidak bisa kita tolak, apa iya kita mau punya koneksi yang lambat? Bahkan alat-alat pendukung dari ini dibuat sedemikian detail sehingga aroma persaingan semakin menyengat, di antaranya: ranking negara dengan koneksi internet tercepat, rating negara dengan lalu lintas penggunaan internet terbesar, dan lain-lain.

Bukan hanya ilustrasi tentang transportasi dan teknologi informasi di atas saja, bahkan di seluruh lini kehidupan kita telah tertancap sebuah kesadaran tentang paradigma “kecepatan” dan modernitas yang kita paksakan agar selaras dengan pandangan dunia. Ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan masih banyak lagi. Hal ini semakin menegaskan konsep modernitas yang kita alami. Dan sekali lagi, bukan kita yang menentukan.

Jelas bahwa peradaban kita sangat tergantung pada apa yang bukan dari kita sendiri. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, jika memang bukan kita yang menentukan standar aturan modernitas dan kecepatan, lantas, peradaban lain dengan paradigmanya itu terikat pada aturan apa? Mungkin hal ini bisa di jawab dengan pernyataan sangat sederhana, ialah sains. Namun, cukupkah sains menjadi aturan yang mengatur kecepatan dan modernitas?

Sejauh ini bisa kita simpulkan bahwa modernitas merupakan sebuah pengalaman yang sedang berlangsung. Namun, sebagaimana dituliskan oleh Muhammad Iqbal, ada tingkatan dalam sebuah pengalaman, ialah tingkatan materi, tingkatan kehidupan, serta tingkatan pikiran dan kesadaran. Padahal sains sendiri, tidak pernah bisa lebih dari sekedar tingkatan materi. Bagaimana dengan dua tingkatan urutan sesudahnya, bukan lagi urusan sains, saya rasa.

Apalagi, tingkatan materi hanya berlaku pada “diri efisien”, diri yang memasuki hubungan serta keterikatan dengan waktu yang meruang, yang menentukan lama atau sebentar, panjang atau pendeknya sebuah durasi. Padahal secara sederhana --Bergson seperti dikutip Muhammad Iqbal- diri dapat dibagi menjadi dua, diri efisien dan diri praktis. Dan waktu hanya menjadi ranah “diri efisien”.

Waktu yang oleh “diri efisien” yakini, dianggap sebagai suatu garis lurus yang tersusun dari titk-titik ruang yang berada di luar satu sama lain (M. Iqbal, 2016:54), mirip seperti banyak tahapan dalam suatu perjalanan. Tapi waktu semacam ini, menurut Bergson, bukanlah waktu yang sesungguhnya. Eksistensi dalam waktu yang meruang adalah eksistensi palsu.

Namun, sains di satu sisi sangat dapat dipercaya karena bisa diverifikasi kebenarannya. Kalau sains berkata semakin cepat semakin modern, sah saja. Karena sains nyatanya bisa memilah mana cepat mana lambat dengan argumen fisika yang secara kronologis bilang 1 jam adalah 60 menit, 1 menit adalah 60 detik, dan seterusnya, dan memang kenyataanya seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun