Mohon tunggu...
Ale Raya
Ale Raya Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Citra Dirinya Neofasis & Arogan, Dimanakah Tempat Ahok?

20 Juli 2016   09:39 Diperbarui: 23 Juli 2016   10:52 26695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PANGGUNG sejarah kebangsaan negeri ini juga dihiasi oleh tokoh-tokoh empatik yang berperan dalam menjaga harmoni persaudaraan dan kerukunan sesama anakbangsa. Tokoh-tokoh yang memberikan sumbangsih sesuai kapasitas diri dan profesi mereka; tokoh-tokoh yang dengan lisannya sangat sensitif dan toleran menjaga kerukunan sesama anakbangsa…

Saya pun teringat Yap Thiam Hiem, Karim Oey (Haji Junus Jahja), Siaw Liem Piet sastrawan yang ayah kandung Soe Hok Gie & Soe Hok Djin (Arief Budiman).

Saya teringat kepada nasionalisme heroik John Lie, maestro badminton Rudy Hartono (Nio Hap Liang atau Hatuonuo), Susi Susanti-Alan Budikusuma (Wang Lian Xiang-Goei Ren Fang), teringat kepada Steve Liem Tjoan Hok (sutradara Teguh Karya), Buby Chen (musisi jazz terkemuka), sejarawan Onghokham, para perintis pers nasional seperti Hauw Tek Kong, Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (penulis dengan nama samaran Tjamboek Berdoeri), PK Ojong, ekonom Kwik Kian Gie, seniman-pengusaha Jaya Suprana (Phoa Kok Tjiang), Oei Hong Kian dokter gigi Presiden Sukarno yang menuliskan memoarnya yang sangat menyentuh…

Saya teringat kepada para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang ikut merumuskan dasar-dasar Indonesia menjadi negara yang merdeka, antara lain Oei Tiang Coel, Oei Cong Han, Ten Eng Hoa, Lim Koen Hian…

Di tengah ingatan-ingatan itu saya bertanya-tanya dimanakah ‘’tempatnya’’ Ahok yang lisannya sering tajam mengiris-ngiris perasaan masyarakat, yang sampai hari ini seperti tidak berkeinginan menata gaya dan content komunikasinya kepada publik. Bukan supaya menjadi santun dibuat-buat melainkan supaya selayaknya empatik dan toleran.

Ahok jelas bukan Bang Ali.

Bekas Menteri Perhubungan Laut era Sukarno itu tentara tulen. Main tendang dan main tempeleng itu perkara biasa. Bang Ali keras tetapi tidak kasar. Wibawa dan kharisma yang dia bangun karena integritas pribadinya. Sampai akhir hayatnya misalnya tidak ada bumbu-bumbu cerita yang menyebut Bang Ali terlibat korupsi, jadi centeng cukong, apalagi sampai merendahkan jabatan dengan menjadi karyawan perusahaan pengembang…

Bang Ali kontroversial tetapi hatinya benar-benar buat rakyat. Telinganya dia tempelkan di perut Jakarta buat mendengarkan kebutuhan warga, hasilnya antara lain cagar budaya Condet buat masyarakat Betawi, proyek jalan kampung bernama proyek MHT (Muhammad Husni Thamrin), terminal-terminal bus di lima wilayah Jakarta, gelanggang-gelanggang remaja, Pusat Kesenian Jakarta, planetarium, pusat-pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) di pelosok-pelosok kampung kota Jakarta, dan sebagainya.

Waktu peristiwa kerusuhan Malari 1974 meletus sebagai penguasa Jakarta Bang Ali lebih memilih memperlihatkan empati kepada masyarakat yang menjadi korban, ketimbang masuk dalam pusaran intrik politik yang melibatkan para jenderal yang mau berebut kekuasaan.

Seperti dicatat oleh sejarah setidaknya ada bayang-bayang tiga jenderal dalam peristiwa Malari, yaitu Sumitro, Panggabean, dan Sudomo.

Waktu api dan asap Malari masih berkobar dan mengepul Bang Ali naik mobil dinas keliling Jakarta sambil pegang handy talkie. Di sepanjang jalan dia minta laporan dan memerintahkan anak buah supaya membantu warga yang jadi korban dan malamnya bersama Hariman Siregar, Bang Ali berbicara di TVRI untuk menenangkan warga Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun