Mohon tunggu...
Anabel Nugroho
Anabel Nugroho Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Teknik Busana Universitas Negeri Yogyakarta

Saya adalah pribadi yang tenang, tekun, dan penuh rasa ingin tahu. Saya senang mengisi waktu dengan mendengarkan musik, membaca, menonton film, dan menjahit. Kepribadian yang sabar serta teliti membuat saya menikmati aktivitas yang membutuhkan konsentrasi sekaligus memberi ruang untuk berimajinasi dan berkreasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Generasi Z Berkain: Antara Identitas dan Tren

30 September 2025   23:13 Diperbarui: 30 September 2025   23:13 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya berkain Generasi Z

Di tengah arus globalisasi dan derasnya budaya populer asing, busana tradisional Indonesia, khususnya kain, sering kali dipandang sebelah mata. Tidak sedikit yang menganggap kain kuno, ribet, dan hanya pantas dikenakan pada acara resmi seperti pernikahan atau peringatan Hari Batik Nasional. Namun, fenomena belakangan menunjukkan hal berbeda. Generasi Z, dengan segala dinamika dan kreativitasnya, mulai menghidupkan kembali kain dalam gaya berpakaian sehari-hari. Fenomena ini memunculkan pertanyaan penting: apakah generasi Z benar-benar melihat kain sebagai bagian dari identitas bangsa, atau sekadar mengikuti tren yang sedang viral?

Kain tradisional Indonesia, seperti batik, tenun, songket, atau lurik, bukan hanya sekadar selembar bahan untuk menutup tubuh. Ia menyimpan filosofi, simbol budaya, bahkan sejarah panjang perjalanan bangsa. Setiap motif batik misalnya, mengandung makna tertentu, mulai dari doa, harapan, hingga status sosial pemakainya. Begitu pula dengan tenun ikat atau songket yang kaya warna dan motif, mencerminkan kearifan lokal dari daerah asalnya.

Bagi bangsa Indonesia, kain adalah identitas yang mengikat. Pengakuan UNESCO terhadap batik sebagai warisan budaya tak benda dunia mempertegas bahwa kain bukan sekadar produk fashion, melainkan warisan peradaban. Dalam konteks ini, generasi Z memegang peran penting. Sebagai generasi yang hidup di era digital, mereka punya kekuatan besar untuk memperkenalkan kain ke dunia dengan cara yang lebih luas, modern, dan berkelanjutan.

Menggunakan kain dalam kehidupan sehari-hari seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai formalitas, melainkan juga pernyataan identitas. Generasi Z bisa menunjukkan bahwa di balik gaya hidup modern dan global, mereka tetap memiliki akar budaya yang kuat. Dengan begitu, kain menjadi simbol nasionalisme yang hidup dan relevan.

Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa minat generasi Z terhadap kain juga dipengaruhi oleh faktor tren. Budaya populer, media sosial, hingga industri fashion lokal telah berperan besar dalam membuat kain kembali diminati. Banyak brand lokal yang berhasil merancang busana dari kain tradisional dengan potongan kekinian, sehingga lebih mudah diterima oleh generasi muda.

Fenomena mix and match juga membuat kain semakin fleksibel. Kain batik bisa dipadukan dengan jeans, sneakers, atau jaket denim untuk menciptakan gaya kasual. Tenun bisa dijadikan outer yang stylish, sementara songket dipakai sebagai rok lilit yang cocok untuk berbagai kesempatan. Hal-hal ini memperlihatkan bahwa kain dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan fashion modern tanpa kehilangan karakter tradisionalnya.

Peran media sosial sangat besar dalam mendorong tren ini. Platform seperti Instagram dan TikTok dipenuhi dengan konten kreator yang mempopulerkan OOTD (Outfit of The Day) berkain. Dengan caption kreatif dan video singkat yang menarik, mereka berhasil membuat generasi muda melihat kain sebagai sesuatu yang keren, bukan kaku. Namun, di sinilah letak tantangannya. Apakah kecintaan pada kain ini akan bertahan lama, atau hanya berhenti pada tren yang cepat berganti?

Generasi Z berada pada persimpangan jalan. Jika kain hanya dilihat sebagai tren, maka ia bisa sewaktu-waktu tergeser oleh gaya luar negeri yang lebih populer, seperti Korean style atau fast fashion dari brand global. Namun, jika generasi muda mampu memaknainya sebagai identitas, maka kain akan memiliki tempat yang lebih kokoh dan berkelanjutan dalam kehidupan sehari-hari.

Identitas tidak harus berbenturan dengan tren. Justru, ketika identitas dipadukan dengan tren, lahirlah inovasi yang unik dan otentik. Generasi Z memiliki kemampuan untuk melakukan ini. Dengan kreativitas, mereka bisa menjadikan kain tidak hanya simbol kebanggaan budaya, tetapi juga produk fashion yang mendunia. Misalnya, dengan memanfaatkan teknologi digital untuk memasarkan produk kain, atau menggabungkan filosofi motif batik dengan desain modern yang disukai pasar internasional.

Lebih jauh lagi, pemakaian kain juga bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap budaya konsumtif fast fashion. Di tengah isu lingkungan yang semakin serius, kain tradisional yang dibuat dengan proses manual dan berakar pada budaya lokal bisa menjadi simbol keberlanjutan. Generasi Z yang dikenal lebih peduli pada isu sosial dan lingkungan dapat menjadikan kain sebagai bagian dari gerakan sustainable fashion.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun