Mohon tunggu...
MA Fauzi
MA Fauzi Mohon Tunggu... Penulis - Ilmu AlQuran dan Tafsir, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Mahasiswa | Penulis | Esais | Analitis Isu Terkini | Cerpenis

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tak Ada Garam, Emak Bisa Geram, "Secukupnya Saja!"

7 Februari 2019   16:46 Diperbarui: 7 Februari 2019   20:34 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak SD -- kalau gak salah -- saya selalu disuruh ke warung untuk beli garam. Biasanya emak selalu masak segala macam variasi masakan dari yang standar keluarga sampai yang elit seperti makanan hotel, Kata emak sih, garam paling penting dan tak boleh absen di dapur. Meski sudah banyak bawang-bawangan, cabe, ketumbar dan teman-teman bumbu dapur lainnya, emak pastikan terlebih dahulu apakah ada garam atau tidak.

Misalkan saja garam tidak tampak di toples dapur, emak lebih memilih beli makanan di luar atau saya yang harus rela berjalan keluar; membeli garam saja.

Namun, emak ketika di hari sabtu-minggu -- karena jadwal kerja libur -- beliau belanja ke pasar, mengajak saya tuk bantu angkat-angkat bahan dapur, kalau sudah beli pasti seabreg-abreg.

Begitu halnya garam, terkadang belinya tidak tanggung-tanggung; dua lusin sekaligus buat persiapan masak-masak hari kemudian. saya pun siap mengangkat dua plastik kresek hitam besar dengan ragam-ragam di dalamnya; ayam potong, ikan, sayur-mayur, dan garam.

Pernah, suatu ketika saya nyoba-nyoba masak sendiri dengan resep amat sederhana; telor dadar. Ketika siap saji dan mulai dicicip, ternyata rasanya kurang enak setelah dinilai oleh emak, telornya kurang garam. Ah! Mungkin saya terlalu sedikit menaburnya. Keesokan harinya, saya coba garam tersebut ditabur dengan takaran lewat standar; kebanyakan. Emak pun bilang tidak enak dan aneh sekali.

 Emak lantas ngomong lantang:

"Kamu jangan banyak-banyak garamnya, harus irit tapi gak irit-irit banget. Gunakan secukupnya!"

Opini saya perihal kata secukupnya mulai mengawang-awang di kepala. Bagaimana bisa saya yang pelajar SD harus menakar banyak-dikitnya garam sesuai porsi emak. kurang garam, salah. Kebanyakan garam, tambah salah. Apalagi kalau tak ada garam, bisa-bisa emak geram. Saya mulai berpikir, kenapa emak beli garam banyak-banyak tapi dipakai hanya secukupnya?

Pikiran itu terbesit kala saya mulai menginjak ranah SMA.

Menurut saya yang sebagai koki gadungan, enak-enak saja kurang garam atau kelebihan garam. Itu buatan saya kenapa emak justru protes.

Namun, saya dan emak sepakat kalau masakan tanpa garam pasti hambar segalanya, cita rasanya pun menurun, dan kelezatan masakan justru nihil; mungkin emak-emak seluruh dunia juga sepakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun