Investigasi BPK dan penelusuran media mengarah pada dugaan pengaturan tender yang terstruktur. Fakta mencengangkan terungkap: lelang proyek hampir Rp150 miliar ini diduga hanya menjadi formalitas bagi banyak perusahaan, dengan hanya satu peserta yang serius mengajukan penawaran. Penawaran tunggal tersebut nilainya hanya berjarak kurang dari 0,5% dari Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Pola ini, yang dikenal sebagai tender "satu-penawar", sangat rentan terhadap praktik kolusi.
Bukti Digital yang Identik
Yang semakin memperkuat dugaan persekongkolan adalah temuan mengenai metadata file dokumen. Dokumen HPS dan dokumen penawaran pemenang dilaporkan memiliki identitas digital yang identik---seolah-olah keduanya dibuat oleh pihak yang sama pada waktu yang sama. Hal ini memberikan indikasi kuat bahwa HPS, yang seharusnya disusun secara independen oleh pemerintah, justru dibuat berdasarkan Rancangan Anggaran Biaya (RAB) milik rekanan yang sudah diarahkan menjadi pemenang.
Panggilan Penegakan Hukum
Atas dasar temuan BPK dan kecurigaan publik ini, berbagai elemen masyarakat, termasuk Aliansi Mahasiswa Jambi, secara masif mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi untuk mengusut tuntas dugaan tindak pidana korupsi. Fokus penyelidikan diminta diarahkan pada aliran dana, dugaan mark-up harga material, dan peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) serta Kelompok Kerja (Pokja) dalam memuluskan proyek ini.
Polemik Anggaran dan Warisan 'Monumen Frustrasi'
Di tengah riuh rendah isu kerusakan dan korupsi, manajemen anggaran proyek ini pun menjadi target kritik.
Masa Pemeliharaan yang Dipaksakan
Pemerintah Provinsi menggunakan dalih bahwa bangunan masih dalam masa pemeliharaan hingga Januari 2026 sebagai perisai dari tuntutan pertanggungjawaban segera. Namun, lamanya durasi pemeliharaan ini disinyalir sebagai upaya mengulur waktu agar masalah bisa diperbaiki diam-diam tanpa sorotan publik yang intens, sekaligus melindungi kontraktor dari sanksi tegas.
Kontroversi Tambahan Anggaran
Kontroversi terbaru muncul saat Pemerintah Provinsi mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp13 miliar untuk "penataan kawasan" Islamic Center dalam APBD Perubahan. Usulan ini sontak menimbulkan amarah di kalangan dewan. Anggota DPRD menegaskan bahwa tidak seharusnya ada penambahan dana untuk proyek yang cacat. Badan Anggaran (Banggar) DPRD bahkan mengeluarkan pernyataan keras, membebankan risiko hukum sepenuhnya kepada Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Dinas PUPR jika tambahan dana tersebut tetap disetujui, menunjukkan adanya ketidaksepakatan yang mendalam antara eksekutif dan legislatif.