Beberapa tahun lalu, sebuah produk sedotan ramah lingkungan mendadak laris manis di pasaran. Bukan semata karena inovasi produknya, melainkan karena strategi pemasarannya: memperlihatkan gambar seekor penyu yang tersedak sedotan plastik. Kisah tragis ini memang nyata, bahkan pernah viral di dunia maya.
Namun yang mengejutkan, sang pebisnis mengaku bahwa ia tidak benar-benar peduli pada nasib penyu. Bagi dirinya, itu sekadar branding yang efektif untuk menarik simpati publik.
Fenomena ini membuka mata kita pada satu hal: suara satwa sering kali dipakai hanya sebagai alat dagang. Isu penderitaan hewan bisa menjadi komoditas branding yang menguntungkan, tetapi apakah benar mereka dilindungi? Atau justru sekadar menjadi "panggung" agar manusia tampak peduli? Inilah paradoks yang perlu kita renungkan. Â
Satwa dan Minimnya Literasi
Setiap kali melihat penyu tersedak sedotan, paus terdampar penuh plastik, atau orangutan kehilangan hutan karena kebakaran, hati kita tak bisa tinggal diam. Visual penderitaan satwa sering menghentak emosi, membuat publik tergerak dan peduli. Tak heran banyak kampanye sosial, bahkan bisnis, menjadikan satwa sebagai simbol.
Sayangnya, satwa sering dieksploitasi untuk kepentingan pembuat branding---baik untuk keuntungan komersial maupun reputasi sosial---tanpa ada kepedulian nyata pada nasib penyu atau spesies lain. Publik digugah, tapi tidak diarahkan pada tindakan yang benar-benar menyelamatkan mereka. Padahal, tujuan sesungguhnya seharusnya memberi satwa ruang hidup yang layak, bukan sekadar menjadi simbol dalam konten pemasaran atau alat pencitraan publik.
Ancaman Nyata: Dari Branding ke Kehidupan
Mari kembali ke realitas. Data WWF (2023) menunjukkan populasi satwa liar di dunia mengalami penurunan rata-rata 69% sejak 1970. Di Indonesia, banyak spesies endemik seperti cenderawasih, komodo, dan anoa terus terancam karena deforestasi, perdagangan ilegal, dan polusi.
Kita bisa bertanya: seberapa jauh branding "ramah lingkungan" benar-benar menyelamatkan satwa? Apakah produk yang menjual kepedulian juga menyumbang pada konservasi, atau sekadar mengambil untung dari narasi penderitaan hewan? Jika jawabannya lebih condong pada yang kedua, berarti satwa masih belum benar-benar memiliki suara.
Ketika Satwa Bicara, Siapa yang Mendengar?