Mohon tunggu...
AMRIANA AMIR
AMRIANA AMIR Mohon Tunggu... PERENCANA

Sedang berusaha membangunkan kreatifitas pasca tidur panjang

Selanjutnya

Tutup

Nature

Literasi Satwa : Memberi Suara BAgi yang Tak Bisa Bicara

8 September 2025   09:10 Diperbarui: 8 September 2025   10:52 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto : BKSDA Bali, Teks tambahan : Amriana Amir

Beberapa tahun lalu, sebuah produk sedotan ramah lingkungan mendadak laris manis di pasaran. Bukan semata karena inovasi produknya, melainkan karena strategi pemasarannya: memperlihatkan gambar seekor penyu yang tersedak sedotan plastik. Kisah tragis ini memang nyata, bahkan pernah viral di dunia maya.

Namun yang mengejutkan, sang pebisnis mengaku bahwa ia tidak benar-benar peduli pada nasib penyu. Bagi dirinya, itu sekadar branding yang efektif untuk menarik simpati publik.

Fenomena ini membuka mata kita pada satu hal: suara satwa sering kali dipakai hanya sebagai alat dagang. Isu penderitaan hewan bisa menjadi komoditas branding yang menguntungkan, tetapi apakah benar mereka dilindungi? Atau justru sekadar menjadi "panggung" agar manusia tampak peduli? Inilah paradoks yang perlu kita renungkan.  

Satwa dan Minimnya Literasi

Setiap kali melihat penyu tersedak sedotan, paus terdampar penuh plastik, atau orangutan kehilangan hutan karena kebakaran, hati kita tak bisa tinggal diam. Visual penderitaan satwa sering menghentak emosi, membuat publik tergerak dan peduli. Tak heran banyak kampanye sosial, bahkan bisnis, menjadikan satwa sebagai simbol.

Sayangnya, satwa sering dieksploitasi untuk kepentingan pembuat branding---baik untuk keuntungan komersial maupun reputasi sosial---tanpa ada kepedulian nyata pada nasib penyu atau spesies lain. Publik digugah, tapi tidak diarahkan pada tindakan yang benar-benar menyelamatkan mereka. Padahal, tujuan sesungguhnya seharusnya memberi satwa ruang hidup yang layak, bukan sekadar menjadi simbol dalam konten pemasaran atau alat pencitraan publik.

Ancaman Nyata: Dari Branding ke Kehidupan

Mari kembali ke realitas. Data WWF (2023) menunjukkan populasi satwa liar di dunia mengalami penurunan rata-rata 69% sejak 1970. Di Indonesia, banyak spesies endemik seperti cenderawasih, komodo, dan anoa terus terancam karena deforestasi, perdagangan ilegal, dan polusi.

Kita bisa bertanya: seberapa jauh branding "ramah lingkungan" benar-benar menyelamatkan satwa? Apakah produk yang menjual kepedulian juga menyumbang pada konservasi, atau sekadar mengambil untung dari narasi penderitaan hewan? Jika jawabannya lebih condong pada yang kedua, berarti satwa masih belum benar-benar memiliki suara.

Ketika Satwa Bicara, Siapa yang Mendengar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun