Lihat ke Halaman Asli

Afi, Menujulah Puncak karena Menulis itu Tidak Mudah

Diperbarui: 3 Juni 2017   11:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Selamat datang di Indonesia di mana orang-orang dewasanya dibikin heboh gara-gara anak kemarin sore yang nyebut-nyebut warisan."

Itu adalah status Facebook saya tanggal 25 Mei 2017 menggambarkan suasana dunia maya dan dunia nyata saat itu. Orang-orang dewasa benar-benar dibikin heboh sama "Warisan" yang ditulis oleh anak-anak yang sedang (hampir) menginjak dewasa, Afi Nihaya Faradisa.

Nama Afi mengingatkan saya pada sebuah acara pencarian bakat paling terkenal waktu itu: Akademi Fantasi Indonesia. Namun sayangnya sejak isu plagiarisme mencuat nama Afi malah diplesetkan menjadi Akademi Flagiat Indonesia. Yang sabar ya.

Afi, jika kamu pikir tulisan saya ini membelamu, kamu salah. Tapi bukan juga hendak membully kamu. Saya pun juga ikut-ikutan heboh lo gara-gara "Warisan". But that's not the point of this note. The point is, menulis itu tidak mudah.

Saya contohkan satu nama penulis: Dewi 'Dee' Lestari. Di millennium ketiga ini siapa yang nggak kenal Dewi 'Dee' Lestari? Penyanyi mantan anggota RSD ini full menjadi penulis sejak novelnya yang pertama "Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh" (meskipun sebelumnya dia juga banyak menulis di beberapa media).

Saya yang saat itu bahkan lebih muda dari umurmu, 16 tahunan, yang juga sering membaca karya sastra Indonesia masih belum bisa mengapresiasi karyanya. Betapa tidak? Isi novelnya tidak berbeda dengan novel-novel maupun karya sastra pada saat itu yang berisi prostitusi, cheating, hingga hubungan sesama jenis. Sangat biasa untuk tidak disebut norak.

Sekedar diketahui bahwa saat itu, bersamaan dengan jaya-jayanya film bioskop "Ada Apa Dengan Cinta?" adalah masa yang dipenuhi dengan karya sastra bertema 'sangat dewasa' atau kalau boleh saya katakan "trans-kultur". Sebut saja misalnya Moammar Emka punya Jakarta Undercover, Iip Wijayanto punya Campus Fresh Chicken, dan bahkan majalah sastra Horizon pun kerap memuat cerpen-cerpen yang dibumbui hal senada. (Koreksi jika saya salah).

Tapi apa yang dilakukan Dee untuk menghargai tulisannya? Dia menerbitkan bukunya sendiri. Mendistribusikan sendiri. Bahkan demi bisa merambah kalangan rakyat jelata (seperti saya), dia rela 'membajak' bukunya sendiri dengan mencetaknya di atas kertas buram. Hasilnya? Terjual lebih dari 12 ribu eksemplar hanya dalam 35 hari dan statistiknya terus naik.

Lihatlah dia sekarang. Kini Dewi benar-benar seorang penulis dengan karya tulis yang berkualitas tinggi dibandingkan dahulu. Karya-karyanya juga tidak jarang diangkat ke layar kaca. Filosofi Kopi, Madre, Perahu Kertas, untuk menyebut beberapa.

Kekaguman orang pada tulisanmu itu wajar, mengingat pemikiranmu sangat maju dibandingkan anak-anak seusiamu. Kalaupun kamu mengaku diancam diteror sana sini, itu hal yang wajar karena kamu menyentuh ranah yang 'sangat mengancam mereka'. Tapi itu belum cukup untuk menjadi penulis yang berkualitas.

Menjadi penulis berkualitas tidak hanya sekedar menulis satu dua tulisan, tapi bagaimana seorang penulis itu menghargai tulisannya dan juga orang lain. Adalah kesalahan besar mengaku-ngakui tulisan orang lain sebagai tulisan sendiri. Lebih salah lagi dengan menempatkan tanda copyright (hak cipta) pada tulisan yang bukan tulisannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline