Lihat ke Halaman Asli

Yudaningsih

Pemerhati Bidang Sosial Budaya, Pendidikan, Politik dan Keterbukaan Informasi Publik

Refleksi Tia Muthiah Umar atas Kasus Neni Nurhayati

Diperbarui: 6 Agustus 2025   09:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tia Muthiah Umar (Sumber:DokPri Tia Muthiah Umar)

Dalam setiap masyarakat yang terus bertumbuh, kritik dan kebijakan berjalan beriringan — kadang selaras, kadang berseberangan. Di tengah dinamika tersebut, ruang digital menjadi panggung baru di mana warga dan pemerintah saling menyapa, bertanya, bahkan mengoreksi. Namun, tak jarang pula, ruang itu menjadi medan tafsir yang rawan salah paham.

Belum lama ini, percakapan publik diwarnai oleh respons terhadap sebuah kritik yang dilayangkan warga kepada pemerintah. Kritik yang dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian, mendapat tanggapan yang memunculkan pertanyaan lebih luas: sejauh mana etika mengikat cara kita berbicara — dan merespons — di ruang publik digital?

Saya— Tia Muthiah Umar, dosen di Fakultas Ilmu Komunikasi Unisba dan pegiat 'Aisyiyah Jawa Barat — merasa perlu mengajak kita semua untuk menunduk sejenak. Bukan untuk menyalahkan satu pihak, bukan pula untuk membenarkan yang lain. Tetapi untuk merenungi kembali bagaimana demokrasi kita bisa tumbuh sehat, ketika kritik direspon dengan keterbukaan, dan kebijakan dilandasi keberanian untuk dijelaskan.

Dalam negara demokrasi, suara publik bukan gangguan, tapi nadi kehidupan. Kritik bukan bentuk kebencian, melainkan cermin dari keterlibatan warga dalam urusan bersama. Terlebih ketika kritik itu lahir dari ruang kepedulian — soal anggaran, kebijakan, atau pelayanan publik — maka tugas pemerintah bukan menghindar, apalagi membalas, melainkan menjelaskan.

Namun realitas tak selalu berjalan ideal. Dalam satu kasus yang belakangan mencuat, seorang warga bernama Neni Nurhayati menyampaikan pandangan kritisnya melalui media sosial. Ia mengajukan pertanyaan soal penggunaan dana publik. Sebuah ekspresi yang dalam kerangka demokrasi bisa dipahami sebagai hak menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.

Yang menjadi perhatian banyak pihak bukan hanya isi kritiknya, tetapi cara tanggapan yang muncul dari akun resmi pemerintah daerah. Tanggapan itu bukan hanya mengklarifikasi substansi, tetapi juga menyebutkan identitas pribadi si pengkritik. Di sinilah perdebatan bermula: apakah ini sekadar klarifikasi institusi, atau bentuk lain dari ketidaksensitifan dalam etika komunikasi publik?

Di titik ini, kita perlu berhenti sejenak untuk melihat lebih jernih. Tidak semua kritik benar, dan tidak semua respons salah. Namun dalam demokrasi, cara menyampaikan dan cara merespons sama pentingnya dengan isi dari keduanya.

Bagi warga, menyampaikan kritik tentu boleh — bahkan perlu. Tapi kritik pun punya etika. Ia mesti disampaikan dengan itikad baik, tidak menyerang pribadi, tidak menuduh tanpa data, serta memberi ruang dialog. Media sosial memang kanal cepat dan luas, tapi justru karena itu, ia juga butuh kebijaksanaan ekstra dalam penggunaan.

Sementara bagi pemerintah, media sosial resmi adalah wajah digital dari negara. Maka setiap kata, setiap balasan, setiap unggahan harus disampaikan dengan penuh tanggung jawab dan kesadaran akan dampaknya. Tugas utama kanal publik adalah memberi informasi, membangun kepercayaan, dan membuka ruang komunikasi dua arah, bukan menimbulkan rasa takut atau membuat warga merasa disorot karena bersuara.

Dalam konteks Jawa Barat yang selama ini dikenal sebagai daerah yang terbuka dan progresif dalam tata kelola pemerintahan digital, kasus ini menjadi momentum evaluasi bersama. Kita tentu tidak ingin kerja keras membangun citra transparansi dan inovasi publik tercoreng hanya karena respons yang kurang bijak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline