Ada hal menarik menyimak tayangan berita ekonomi di Kompas.com beberapa hari ini, salah satunya mengulas tren konsumsi masyarakat pascapandemi. Salah satu yang menarik perhatian adalah munculnya istilah-istilah satir seperti "Rojali" (Rombongan Jarang Beli), "Rohana" (Rombongan Hanya Nanya), hingga "Robeli" (Rombongan Benar-Benar Beli). Istilah-istilah ini mencerminkan bukan sekadar gaya belanja, tetapi juga denyut jantung perekonomian masyarakat urban yang tengah berupaya bertahan di tengah tekanan ekonomi. Fenomena ini menjadi pintu masuk refleksi lebih luas tentang bagaimana kita memahami perilaku konsumsi, ilusi daya beli, dan jurang antara optimismisme elite dan realitas lapangan.
Bayangkan sebuah pusat perbelanjaan megah, lampu-lampunya gemerlap seperti janji-janji kampanye, tapi rak-raknya penuh barang yang sekadar disentuh lalu ditinggalkan. Para pengunjung lalu-lalang dengan langkah ringan, membawa ponsel tapi tak membawa belanjaan. Inilah teater ritel masa kini: panggung megah yang dipenuhi oleh aktor-aktor ekonomi bernama Fenomena Rojali dan Rohana. Sesekali muncul juga tokoh protagonis baru: Robeli, si penyelamat ekonomi nasional, meski kadang seperti tokoh fiktif dalam sinetron jam tujuh.
Belakangan ini, tiga nama unik mengudara di media sosial dan ruang-ruang diskusi ekonomi: Fenomena Rojali (Rombongan Jarang Beli), Rohana (Rombongan Hanya Nanya) dan Robel (Rombongan Benar-Benar Beli). Mereka bukan figur publik atau karakter sinetron, melainkan personifikasi fenomena konsumsi masyarakat yang lebih suka jalan-jalan ke mal daripada gesek kartu. Bukan karena tak suka belanja, tetapi karena kantong sedang berdialog serius dengan dompet.
Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Alphonzus Widjaja, menyebut Fenomena Rojali ini bukanlah hal baru. Bedanya, kini makin kentara karena kondisi ekonomi belum benar-benar pulih. Mal tetap ramai, katanya, tapi yang ramai itu bukan kasir---melainkan eskalator.
Namun, para pelaku usaha tak mau menyerah. Dari balik podium dan panggung konferensi pers, mereka melahirkan istilah baru yang menggugah harapan: Robeli, akronim dari Rombongan Benar-Benar Beli. Ketua Bidang Perdagangan Apindo, Anne Patricia Sutanto, menyebut robeli sebagai simbol optimisme dan gairah pasar. "Jadi istilah rohana, Fenomena Rojali itu tidak menjadi rohana, rojali tapi bener-bener robeli, bener-bener dibeli," katanya penuh keyakinan. Seolah-olah hanya dengan menyebut kata "robeli", seluruh daya beli masyarakat akan bangkit seperti semangat di akhir pidato motivator.
Ajib Hamdani, analis kebijakan ekonomi Apindo, memberi napas akademik pada harapan itu. Ia menyebut bahwa Fenomena Rojali bisa hilang dengan sendirinya jika daya beli pulih. Ia memperkenalkan Lipstick Index---istilah untuk menggambarkan bagaimana masyarakat tetap membeli barang-barang tersier seperti tiket konser dan pertandingan bola, meski kebutuhan pokok ditahan.
Namun, bukankah membeli tiket konser saat isi dapur menipis itu juga bentuk pelarian? Lipstik bukanlah sembako, tapi cukup untuk menyamarkan luka ekonomi di wajah masyarakat kelas menengah ke bawah.
Sementara itu, pemerintah bersikap tenang. Menteri Perdagangan menyebut bahwa perilaku Fenomena Rojali dan Rohana "biasa saja". Bahkan menurutnya, sebagian dari mereka mungkin hanya membandingkan harga di mal sebelum beli online. Sungguh strategi belanja kelas atas dibungkus gaya hidup kelas bawah.
Namun, data berbicara lain. Menurut BPS, penduduk miskin Indonesia per Maret 2025 masih mencapai 23,85 juta orang. Memang turun sedikit dibanding tahun sebelumnya, tapi tekanan ekonomi yang tersembunyi di balik Fenomena Rojali ini menunjukkan ketimpangan gaya hidup dan kenyataan.
Di sisi lain, mal tak sepenuhnya merugi. Mereka beradaptasi. Diskon besar, promo kolosal, hingga gimmick "Hari Belanja Nasional" menjadi upaya agar para Rohana berubah menjadi Robeli. Bahkan kalau bisa, bukan hanya beli lipstik atau tiket konser, tapi juga blender, sembako, dan sepatu sekolah.