Lihat ke Halaman Asli

yassin krisnanegara

Pembicara Publik / Coach / Pengusaha

Pentalogi: Tiga Jam di Hari Jumat (2)

Diperbarui: 4 Juli 2025   05:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selepas Subuh Dean & Sumber: Chatgpt

Cerita 2: Selepas Subuh Dean

Suara azan Subuh yang merayap masuk lewat celah jendela terdengar berbeda di hari Jumat. Di hari-hari lain, ia adalah alarm dari langit, penanda bahwa saya harus menyeret tubuh tua ini dari ranjang untuk menghadapi satu hari lagi yang tak banyak beda dari hari kemarin. Tapi di hari Jumat, suara itu terdengar seperti lonceng pembuka sebuah ritual. Sebuah gencatan senjata.

Hari ini adalah hari kami.

Saya bangkit perlahan. Sendi-sendi lutut berderit memprotes, orkestra kecil dari tubuh yang mulai rapuh. Di samping saya, Asri---istri saya selama tiga puluh tahun---juga menggeliat. Kami tidak perlu bicara. Setelah tiga dekade berbagi ranjang dan hidup, sebagian besar percakapan kami terjadi dalam keheningan. Ia tahu, dan saya tahu. Ini adalah Jumat Keramat.

Kami mengambil wudu, menggelar sajadah yang warnanya telah dijinakkan oleh waktu, lalu menunaikan salat. Gerakan kami sinkron, seperti tarian yang sudah kami hafal di luar kepala. Dan saat doa terakhir diaminkan, ritual yang sesungguhnya pun dimulai.

Saya mengambil ponsel dari atas meja nakas. Asri melakukan hal yang sama. Kami menatap dua benda persegi itu sejenak, dua portal menuju dunia yang telah mencuri anak kami lalu meletakkannya kembali dalam posisi telungkup.
Pintu kamar kami tutup.
Tirani layar biru untuk sementara telah dikudeta.
Selama tiga jam ke depan, kami adalah dua pengungsi di dalam negara kami sendiri.

Tiga jam.
Dulu, tiga jam terasa begitu singkat.
Tiga jam adalah waktu kami terjebak macet saat akan berlibur ke Puncak.
Tiga jam adalah durasi Fiko, anak kami satu-satunya, bermain bola hingga seragamnya berubah warna jadi cokelat.

Kini, tiga jam adalah sebuah keabadian kecil yang kami curi dari sisa hidup. Sebuah keabadian yang kami butuhkan untuk bertahan selama seminggu ke depan.

Saya menatap Asri yang duduk di tepi ranjang. Cahaya Subuh yang pucat menyinari rambutnya yang kini ditumbuhi uban. Saya ingat pertama kali melihatnya gadis dengan tawa lebih riuh dari knalpot RX-King, dengan mata yang menantang dunia.
Kini, di mata yang sama, saya melihat jejak penantian yang tak berujung.

Kami membesarkan Fiko untuk terbang, lalu menghabiskan sisa hidup menatap langit yang kosong.
Takdir adalah seorang komedian dengan selera humor paling ironis.

"Tadi malam Fiko kirim foto," kata Asri, memecah keheningan. Suaranya serak. "Salju di sana. Katanya dingin sekali."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline