Dio merasakan keringat bukan lagi butiran, melainkan aliran kecil yang menyusuri pelipis, membasahi kerah seragamnya yang kaku. Udara di kelas padat dan berat, seolah oksigen telah diganti dengan sesuatu yang tua, pengap, dan berbau debu.
Di depan, Pak Budi dengan perut yang membuncit melampaui kewajaran ikat pinggangnya berceramah tentang kejayaan maritim Nusantara. Suaranya monoton, seperti ketukan paku ke peti mati. Setiap ketukan itu mendekatkan Dio dan ketiga temannya-Raffa, Mala, dan Asna-ke giliran presentasi yang belum mereka siapkan.
Tema: Pemberontakan Petani Banten.
Risiko gagal: nilai merah dan remedial panjang di bawah amarah Pak Budi.
Di bawah pohon keres dua hari sebelumnya, rencana nekat disusun.
Sandiwara. Lima langkah.
Nama kodenya: Kesurupan Massal.
Langkah Pertama: Sang Pemicu: Asna.
Langkah Kedua: Sang Penyebar: Mala.
Langkah Ketiga: Sang Pengacau : Raffa.
Langkah Keempat: Sang Saksi :Dio.
Langkah Kelima: Bukti Ritual : boneka kayu dekil, seukuran jantung manusia, yang mereka cabut dari sela akar beringin tua. Boneka itu menyeringai ganjil, berbau tanah kuburan dan kemenyan basi.
Kipas angin berputar malas di langit-langit, memotong udara panas tanpa membawa angin.
Tiga menit lagi.
Dio memberi isyarat. Kedipan cepat.
Asna membalas dengan anggukan kecil, bibirnya menggumamkan mantra yang hanya ia dengar.
"Baik," suara Pak Budi memecah keheningan. "Kelompok selanjutnya: Dio, Raffa, Mala, Asna. Silakan."
Itulah gongnya.