Saya jadi ingat teman saya, kita sebut saja Nabila. Sebelum menikah dia tau semua kekurangan yang ada dalam pasangannya yang bernama Dio. Dio tukang keluar malam meski tidak ada tugas jaga ronda. Baginya penting untuk menjaga 'brotherhood' bersama teman2nya sehingga ia tidak pernah absen untuk sekedar kongkow-kongkow. Dan lagi, entah kenapa, Dio seringkali bicara tidak jujur. Entah itu pada Nabila maupun pada teman2nya. Padahal tidak ada yang perlu di tutup-tutupi.
Baginya entah mengapa dia suka berkata bukan yang sebenarnya. Ditambah lagi, satu kekurangannya, dia STMJ setengah mati. Sok Tahu Mending Jago. Semua urusan-segala obrolan, dia paling tau. Sempat saya test berdebat tentang Dalai Lama, saya kalah. Terpaksa saya tanya ke Mbah Google yang ternyata dia salah. Hal ini berulang terus dalam G30S PKI, Metafisik, G-Spot, Mak Erot, Ahmadinejad sampai Ksatria Templar, semua berakhir sama.
Dengan segala kekurangan yang seperti itu, pada akhirnya teman saya ini, Nabila, tetap menikah dengan Dio. Yang berakhir dengan perceraian 3 tahun kemudian. Apa yang salah?
Saat saya mengikuti brainstorming di puncak (mungkin 3 tahun lalu) saya menarik sebuah hikmat yang coba saya paksakan untuk memenuhi korelasi kasus nabila. Nabila, memandang Dio saat pacaran menggunakan analisa SBO (Strength Based Organization). Jadi semua kelemahan itu tertutupi oleh kekuatannya. Dio ganteng, mapan, karir bagus, populer di sekolahnya dulu dll. Saat mereka menikah, tiba2 Nabila memandang Dio menggunakan analisa SWOT (Strength, Weaknesses, Oportunity, threats).
Weakness yang dimiliki Dio, berusaha di rubah oleh Nabila, sebisa mungkin. Kalau Dio sering pulang malam, Nabila marah. Teman-temannya dicurigai habis-habisan karena punya peran memberikan hal negatif ke Dio. Teman berbeda gender, di anggap Ancaman. Semua jawaban yang keluar dari mulut Dio, selalu disertai rasa curiga, urusan kecil-kecil dari urusan popok bayi sampai posisi asik dalam kamasutra selalu menjadi perdebatan serius sampai-sampai nggak jadi 'begituan' dan lainnya dan lainnya sampai akhirnya mereka memutuskan pecah kongsi.
Setiap manusia ditakdirkan unik. Berbeda sama sekali. Dan, harus kita pahami, jauh dari kesempurnaan. Yang sempurna hanaya Allah SWT. Dio sendiri pasti merasa dia tidak salah. Karena sudah dari 'sana' nya dia punya tabiat begitu. Konsep ini yang akhirnya saya bawa saat saya menikahi istri saya.
Istri saya tidak sempurna. Begitu juga dia memandang saya. Saya nikahi dia dengan segala kekurangan dan kelebihannya satu paket dengan keluarganya dan dunianya dulu. Saya pahami dan saya ikhlas menerimanya sebagai pendamping hidup saya begitu juga dia menerima saya sebaliknya. Saya akan selalu ingat jatuh cinta karena senyum dan matanya. Saya selalu ingat jatuh cinta karena dia tidak pernah lupa satu haripun membalikkan kalender hariannya. Untuk semua kekurangannya, saya tidak pernah mencoba merubahnya.
Saya paling sebal ada benda atau apapun berada di tempat tidur saya kecuali bantal dan guling. Biarkan yang lain berantakan, asal tidak ada apapun di tempat tidur, jadi kalo saya mau tidur, kasur dalam posisi siap. Konotasinya sama dengan lega rasanya seperti ingin 'pup' dan toilet kosong. Sedangkan istri saya berbeda. Dia punya kegemaran meletakkan hal-hal kecil ke tempat tidur yang dia rasa penting seperti handphone (untuk set alarm), kipas kayu kecil, dompetnya, jepitan rambut atau lainnya. Awalnya saya bilang bahwa saya tidak suka. Beberapa kali hal itu terulang. Tanpa kebanyakan cingcong pelan-pelan saya pindahkan. Sampai akhirnya dia menyimpan barang-barang itu dibalik bantalnya sendiri. Itu cukup buat saya.
Dari sebuah jokes satir saya pernah mendengar : Laki-laki menikahi istrinya berharap istrinya tidak pernah berubah. Sedangkan perempuan menikahi suaminya berharap suaminya akan berubah. Dan keduanya sama-sama kecewa.
Biarkan mereka tidak berubah. Kalaupun berubah, jangan menjadi sesuatu yang dipaksakan melainkan kesadarannya sendiri. Atau, suatu saat nanti pasti kita bertemu ditangah-tengah. Sebuah kompromi. Sama-sama mengikis ego masing-masing....