Di sebuah studio kecil di sudut Jakarta, selembar scarf tergantung pada dinding putih polos. Warnanya mencolok namun hangat-merah bata, jingga lembut, dan hitam arang-membentuk pola geometris yang tidak asing. Motif itu mengingatkan pada tenunan Ulos Batak, tapi dengan sentuhan minimalis modern. Inilah karya anak muda, hasil dialog antara warisan budaya dan desain kontemporer.
Kain bukan hanya soal busana. Dalam banyak tradisi Indonesia, kain adalah media komunikasi yang membungkus ingatan, identitas, dan nilai-nilai yang diwariskan lintas generasi. Maka ketika para desainer muda hari ini mengangkat ulang motif tradisional ke dalam scarf modern, mereka sebenarnya sedang menenun ulang cerita lama ke dalam bentuk baru.
Dari Ingatan ke Gagasan: Menggali Motif Tradisi
Motif tenun, batik, atau ikat dalam kain tradisional tak hadir secara kebetulan. Mereka lahir dari pengamatan terhadap alam, filosofi hidup, hingga nilai sosial masyarakat setempat. Menurut Ni Made Respati dalam bukunya "Kain Nusantara: Penjaga Tradisi dalam Goresan Motif" (2020), setiap motif menyimpan pesan, mulai dari simbol perlindungan, harapan akan kesuburan, hingga status sosial.
Sebagai contoh, motif Songket Minangkabau seperti "Pucuak Rabuang" (tunas bambu) melambangkan semangat pantang menyerah dan harapan akan pertumbuhan. Motif ini banyak dipakai dalam acara adat pernikahan dan dipertahankan secara turun-temurun. Ketika motif ini muncul di scarf digital printing karya desainer masa kini, ia tidak hanya menjadi elemen visual, tetapi jembatan emosional dan identitas budaya.
Scarf: Kanvas Baru untuk Cerita Lama
Scarf mungkin benda kecil, tetapi ia bisa jadi ruang eksplorasi besar. Bentuknya yang fleksibel dan dekat dengan tubuh menjadikannya medium ideal untuk menyampaikan cerita visual. Banyak desainer muda kini mulai menjadikan scarf sebagai alat reinterpretasi motif tradisi.
Hal ini sejalan dengan pandangan Alison Gwilt dalam "A Practical Guide to Sustainable Fashion" (2014) yang menyebut bahwa keberlanjutan tak hanya soal material, tetapi juga tentang narasi dan makna yang dibawa setiap produk. Ketika sebuah scarf mengangkat motif lokal dan menyisipkan kisahnya dalam label, kemasan, atau kampanye digitalnya, ia menciptakan nilai tambah yang tak kasat mata.
Inovasi yang Tidak Meninggalkan Akar
Penting untuk diingat bahwa modernisasi bukan berarti memutus akar. Justru kekuatan desain kontemporer ada pada kemampuannya menghidupkan kembali warisan dengan cara yang relevan bagi generasi sekarang. Hal ini menjadi semacam upaya translasi budaya: dari simbol-simbol yang dulunya hanya dimengerti secara lokal, menjadi visual yang bisa diapresiasi lebih luas.
Contoh menarik datang dari program desain scarf bertema Tembut-Tembut Karo yang pernah diangkat di salah satu penelitian mahasiswa yang saya bimbing. Motif topeng ritual khas Karo yang dulunya bersifat sakral, diolah menjadi pola visual repetitif dalam scarf, tetap mempertahankan bentuk aslinya namun dengan palet warna baru yang lebih universal. Mahasiswa yang terlibat tak sekadar meniru, tapi mempelajari konteksnya terlebih dahulu.