Pertemuan antara perwira tinggi TNI dengan Polda Metro Jaya baru-baru ini telah memicu pertanyaan krusial di tengah publik. Dipimpin oleh Komandan Satuan Siber (Dansatsiber) TNI, Brigjen Juinta Omboh Sembiring, rombongan yang terdiri dari Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Mayjen Yusri Nuryanto, dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, mendatangi Polda Metro Jaya untuk mengkonsultasikan dugaan pencemaran nama baik. Targetnya adalah Ferry Irwandi, seorang warga sipil yang mengkritik institusi TNI. Namun, langkah ini membawa serta implikasi yang kompleks, menguji batas-batas antara kritik publik dan potensi kriminalisasi.
Ketiga perwira ini mewakili pilar-pilar strategis dalam tubuh TNI. Brigjen J.O. Sembiring, sebagai Dansatsiber, bertanggung jawab memonitor ruang digital dan mengidentifikasi ancaman. Pengalamannya sebagai perwira Infanteri dari Kopassus dan latar belakang pendidikannya yang beragam menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang kompeten dan terstruktur. Kehadiran Mayjen Yusri Nuryanto dari Polisi Militer menegaskan bahwa TNI memandang dugaan ini sebagai isu yang serius dan berdimensi hukum.
Sementara itu, Brigjen Freddy Ardianzah, sebagai Kapuspen, hadir untuk mengelola komunikasi publik terkait isu sensitif ini. Kehadiran mereka bersama-sama menunjukkan adanya keseriusan dan koordinasi antar unit dalam menanggapi kasus ini.
Hasil pertemuan dengan Polda Metro Jaya memberikan kejelasan, tetapi juga menempatkan TNI pada persimpangan jalan. Pihak kepolisian menegaskan bahwa sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi, pasal pencemaran nama baik adalah delik aduan yang hanya bisa dilaporkan oleh orang perorangan, bukan oleh institusi. Fakta hukum ini membuat posisi TNI sebagai institusi pelapor menjadi tidak valid, mendorong mereka untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya.
Kini, bola panas ada di tangan Dansatsiber TNI. Ia dihadapkan pada dua pilihan strategis. Pilihan pertama adalah melanjutkan proses hukum dengan mendorong seorang perwira, entah dirinya atau perwira lain, untuk melaporkan Ferry Irwandi secara pribadi. Langkah ini mungkin akan memenuhi syarat formal hukum, tetapi berisiko memicu kecaman publik. Tindakan ini bisa dianggap sebagai upaya menggunakan kekuasaan untuk membungkam kritik, menciptakan "efek gentar" (chilling effect) di kalangan masyarakat yang ingin menyuarakan pendapat.
Pilihan kedua, yang mungkin lebih bijaksana, adalah menghentikan proses hukum. Dengan mengabaikan laporan ini, TNI akan menunjukkan sikap profesionalisme dan kedewasaan dalam menghadapi kritik. Langkah ini akan mengirimkan pesan kuat bahwa TNI adalah institusi yang fokus pada tugas pokoknya, yaitu menjaga pertahanan negara, alih-alih terlibat dalam sengketa hukum di ranah sipil.
Pada akhirnya, keputusan yang diambil Dansatsiber TNI akan menjadi penentu bagaimana publik memandang profesionalisme TNI. Apakah TNI akan dilihat sebagai institusi modern yang terbuka dan menghargai kebebasan berpendapat, atau justru sebagai lembaga yang antikritik? Pilihan antara melanjutkan konfrontasi hukum atau memilih jalur dialog akan menjadi ujian sesungguhnya bagi institusi militer di era demokrasi ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI