Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyelami Luka, Membangun Makna, dan Memeluk Harapan Abadi

8 Oktober 2025   09:06 Diperbarui: 8 Oktober 2025   09:06 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan qwen, dokpri)

Menyelami Luka, Membangun Makna, dan Memeluk Harapan Abadi (Refleksi tentang Kehilangan Sahabat di Zaman Modern)

Di tengah hiruk-pikuk dunia digital yang serba cepat, di mana pertemanan bisa terjalin dalam hitungan detik lewat layar, kehilangan seorang sahabat, sosok yang benar-benar mengenal kita, menerima kita apa adanya, dan berjalan bersama dalam suka duka, tetap menjadi salah satu luka paling mendalam yang bisa dialami manusia.

Ia bukan sekadar "teman biasa", melainkan cermin jiwa, tempat berbagi rahasia, dan saksi bisu perjalanan hidup kita. Ketika sahabat itu pergi, dunia terasa lebih sepi, bahkan di tengah keramaian. Lalu, bagaimana kita memahami dan menyembuhkan luka ini di zaman yang sering kali mengabaikan kedalaman emosi?

Jawabannya terletak pada dua lensa yang saling melengkapi: psikologi, yang membantu kita memahami luka dan proses pemulihan di dunia ini, dan eskatologi, yang memberi kita harapan akan makna yang melampaui batas kematian.

Luka yang Tak Terlihat: Psikologi di Balik Kehilangan Sahabat

Dalam masyarakat modern, duka atas kehilangan sahabat sering kali "tidak diakui". Tidak seperti kehilangan pasangan atau orang tua, tidak ada cuti berkabung resmi, tidak ada ritual sosial yang mapan, dan sering kali kita didorong untuk "move on" dengan cepat. Padahal, secara psikologis, ikatan persahabatan yang intim bisa sama kuatnya (bahkan lebih) dibandingkan hubungan keluarga.

Psikolog William Worden menjelaskan bahwa berduka adalah proses aktif yang melibatkan empat tugas: menerima kenyataan kehilangan, menghadapi rasa sakit emosional, menyesuaikan diri dengan dunia tanpa orang yang dicintai, dan menemukan cara baru untuk tetap terhubung secara emosional sambil melanjutkan hidup. Ini bukan tentang "melupakan", melainkan mengintegrasikan kehilangan ke dalam identitas baru kita.

John Bowlby, pelopor teori attachment, menegaskan bahwa manusia secara biologis dirancang untuk membentuk ikatan emosional yang kuat. Ketika ikatan itu terputus, tubuh dan pikiran mengalami stres yang nyata, gangguan tidur, kecemasan, bahkan penurunan imunitas. Rasa hampa, marah, bersalah, atau bahkan "mati rasa" adalah respons normal, bukan tanda kelemahan.

Namun, manusia juga luar biasa tangguh. Psikolog George Bonanno menemukan bahwa resiliensi (kemampuan untuk pulih) adalah respons paling umum terhadap kehilangan, bukan patologi. Dan kunci resiliensi itu? Dukungan sosial dan makna. Di sinilah peran komunitas, keluarga, dan iman menjadi sangat penting: mereka menjadi jangkar yang menahan kita agar tidak tenggelam dalam lautan kesedihan.

Harapan yang Melampaui Kematian: Eskatologi sebagai Cahaya di Tengah Duka

Jika psikologi membantu kita bertahan di bumi, eskatologi (ajaran tentang akhir zaman dan kehidupan setelah kematian) mengangkat pandangan kita ke langit. Dalam tradisi Kristen, kematian bukanlah titik akhir, melainkan gerbang menuju kehidupan yang lebih penuh.

Rasul Paulus menulis dengan penuh pengharapan: "Janganlah kamu berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya, bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia." (1 Tesalonika 4:13-14)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun