Ini kisah nyata, antara lucu, konyol, dan... sedikit memalukan. Kalau Anda pernah salah kirim paket, mungkin bisa relate. Tapi jangan sampai salah kirim ke rumah Menhan ya! Nanti dikira barang mudah meledak, haha!
Hari itu, istriku menyuruhku mengantar pesanan pepaya ke rumah Bu RW. Sebagai suami siaga yang baik hati dan tidak sombong, tentu aku mengiyakan. Toh, cuma antar pepaya. Dekat pula, hanya beda RT. Aku pun berangkat dengan hati riang dan semangat pahlawan super.
Sebentar. Mari kita hargai dulu jabatan RW ini. Ketua RT saja dihormati warga satu lingkungan. Nah, Ketua RW...? Dia ini semacam "manajer area". Membawahi semua RT, selalu disapa ramah, dan kalau jalan ke warung aja suka dikasih senyum gratis oleh warga.
Meski tidak digaji selayaknya anggota DPR yang kadang lebih sibuk mewakili isi perut sendiri, Pak RW tetap disegani. Maka siapa yang tak kenal Pak RW... ya mungkin cuma alien.
Kembali ke misi mengantar pepaya.
Dengan percaya diri, aku meluncur ke rumah Pak RW. Rumahnya mudah dikenali: cat hijau muda yang cukup menyilaukan, dan plakat timbul besar bertuliskan "Ketua RW X, Perum YZ". Valid. Tak mungkin salah.
Aku ketuk pintu. Yang keluar? Pak RW sendiri. Baiklah, mungkin Bu RW lagi masak atau rebahan. Aku bilang, "Ini, Pak, pepaya pesanan Bu RW." Tanpa curiga sedikit pun, Pak RW terima barangnya, bayar sesuai harga, dan aku pun pulang. Misi sukses!
Karena badan agak meriang, aku langsung tepar di kasur. Tidur siang adalah hak segala bangsa, apalagi kalau kepala sedang cenut-cenut.
Tapi belum sempat mimpi ketemu Raisa, istriku pulang---dan bukannya berterima kasih, dia malah membangunkanku dengan suara bernada tinggi seperti sirine kebakaran.
"Papa! Pepayanya kok belum diantar?!"
Aku bangun setengah sadar. "Lho? Udah tadi. Ke rumah Pak RW. Udah dibayar juga."