Lihat ke Halaman Asli

Kris Wantoro Sumbayak

TERVERIFIKASI

Pengamat dan komentator pendidikan, tertarik pada sosbud dan humaniora

"Mind Map", Tugas Tematik yang Menarik

Diperbarui: 21 Agustus 2021   09:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peta pikiran, mengombinasikan kalimat, garis, bentuk dan warna dalam menyajikan informasi | dokpri/ HAZEL A.W.

Seorang profesor sedang mengajar anak-anak SD. Menurutnya, Tuhan tidak ada karena bertentangan dengan sains. Tak bisa dilihat dan disentuh. Seorang bocah lelaki, nekat membantah argumen sang profesor. "Apa kau punya otak, professor?" Anda tahu jawabnya, si profesor tersulut oleh bocah SD. "Anda tak bisa melihat dan menyentuh otak Anda.", lanjut si bocah "Jadi Anda tak punya otak." Kelas selesai. --Albert Einstein

Bagaimana cara membuktikan bahwa kita memiliki otak? Hanya dokter bedah dan perawat dan Tuhan yang tahu. Bisa juga dengan melakukan tes IQ. Anda pernah melakukannya waktu sekolah, kan? Berpikir, itu satu bukti mutlak bahwa kita punya otak.

Metode sederhana untuk melatih kemampuan otak adalah dengan membuat mind map (peta pikiran). Suatu metode yang diperkenalkan Tony Buzan, seorang pengembang potensi manusia berkebangsaan Inggris pada 1974 guna memaksimalkan otak kiri dan kanan secara serentak. (wikipedia.org)

Prinsip dasar mind map yakni menggunakan teknik curah gagasan dengan menggunakan kata kunci, simbol, gambar dan melukiskannya dalam kesatuan pada tema yang dibahas. Dalam bahasa paling sederhana, proses menerima informasi, mencerna, lalu menyajikannya secara tertulis melalui sebuah bagan.

Manfaat peta pikiran diulas Joyce Wycoff dalam "Menjadi Superkreatif dengan Pemetaan Pikiran". Diantaranya memperkaya kegiatan curah gagasan, menyusun daftar tugas, melakukan presentasi yang dinamis dan untuk mengenali diri. (wikipedia.org)

Bermula dari tugas harian

Di sekolahku, proses penilaiannya melalui tugas harian (daily task) dan tes bulanan (monthly test), tengah dan akhir semester. Tugas harianlah yang cukup menarik, bobotnya 40% dari keseluruhan. Tak boleh disepelekan.

Tapi kalau tiap hari ada tugas, siswa mana yang tahan? Apalagi pelajaran Tematik (K-13), isinya empat muatan pelajaran. Apalagi situasi pandemi.

Di sini banyak kalangan kalang kabut. Tak memberi tugas, gurunya salah. Kebanyakan tugas---apalagi kalau tugasnya berbarengan, tenggat waktu pengumpulan singkat, susah lagi---anak gampang menyerah, emaknya mencak-mencak. Wali kelas bak debt collector di mata guru mapel. Pusying.

Dari ribuan ratusan tugas yang aku berikan pada siswa, berulang tiap angkatan, aku selalu terjebak dalam siklus tadi. Kalau bisa, tak usahlah membebani anak orang. Biar semua senang. Soalnya pasti banyak drama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline