Lihat ke Halaman Asli

Wahyudi Adiprasetyo

Sang Pena Tua

Mencari Makna "Mulia" Diantara Tugas Mulia dengan Yang Mulia

Diperbarui: 20 September 2025   06:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada ironi yang begitu telanjang di negeri ini: mereka yang menjalankan tugas mulia justru diganjar upah seadanya, sementara mereka yang disebut "yang mulia" hidup dalam limpahan gaji, tunjangan, dan fasilitas.

Lihatlah potret pustakawan. Penjaga literasi yang membuka pintu pengetahuan bagi masyarakat ternyata hidup jauh dari sejahtera. Survei Harian Kompas terhadap 616 pustakawan menemukan lebih dari separuh (53,9 persen) menerima gaji kurang dari Rp3 juta per bulan---bahkan di bawah upah minimum provinsi. Tidak ada jenjang karier, tidak ada jaminan peningkatan kesejahteraan.

Nasib mereka tak jauh berbeda dengan guru dan dosen, yang sepanjang sejarah bangsa selalu dipuji sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, tetapi tetap saja harus bertahan dengan gaji yang minim. Mereka adalah pembentuk karakter bangsa, pengasah kecerdasan, pengawal masa depan generasi. Namun jerih payah itu dibayar murah, seolah dedikasi luhur cukup ditebus dengan kalimat manis "ikhlas mengabdi".

Bandingkan dengan mereka yang menyandang predikat "Yang Mulia"---misalnya anggota DPR. Setiap bulan, gaji pokok mereka berkisar belasan juta rupiah. Belum lagi tunjangan keluarga, tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, biaya perjalanan dinas, hingga jatah rumah dinas dan kendaraan dinas. Jika ditotal, satu anggota DPR bisa mengantongi lebih dari Rp70 juta setiap bulan. Fasilitas kesehatan premium, protokoler yang melayani, bahkan dana pensiun tetap bergulir ketika masa jabatan usai.

Pertanyaannya: adakah ironi yang lebih nyata daripada ini? Mereka yang hanya hadir beberapa kali dalam rapat paripurna dipanggil "yang mulia", sementara pustakawan yang tiap hari menjaga pintu ilmu, guru yang mengasuh anak-anak kita, dan dosen yang menuntun mahasiswa, justru harus berhemat demi bertahan hidup.

Apakah bangsa ini telah salah menempatkan prioritas? Mengapa tugas yang mulia---yang sesungguhnya membentuk peradaban---justru dihargai rendah, sementara "kemuliaan" lebih dikaitkan dengan posisi politik dan status sosial?

Kita tidak sedang merendahkan peran wakil rakyat atau pejabat negara. Kita hanya bertanya: bukankah lebih mulia orang yang menyalakan obor pengetahuan, ketimbang yang sibuk mengurus kepentingan partai dan elektoral? Bukankah lebih layak pustakawan, guru, dan dosen disejahterakan, sebab tanpa mereka, tidak akan lahir politisi, hakim, birokrat, atau pejabat yang duduk di kursi kekuasaan?

Sudah waktunya bangsa ini menata ulang logika kemuliaan. Menggaji layak para penjaga literasi, para guru, dan para dosen bukan sekadar soal teknis keuangan negara. Itu adalah bentuk penghormatan sejati kepada profesi yang menyalakan cahaya peradaban.

Kontradiksi "tugas mulia" vs "yang mulia" hanya bisa diakhiri jika kita berani mengakui: kemuliaan tidak ditentukan kursi dan pangkat, tetapi oleh pengabdian yang tulus bagi bangsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline