Lihat ke Halaman Asli

VERRY VEBIO

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, Tapi Daya Beli Rendah - Ironi Indonesia 2025

Diperbarui: 7 Oktober 2025   19:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Input Keterangan & Sumber Gambar (Foto Menkeu berbicara di depan Media (Sumber: Pinterest)

Pemerintah terus mengumumkan, ekonomi Indonesia akan tumbuh stabil di atas 5 persen. Dalam berbagai kesempatan, para pejabat bangga menyebut bahwa ekonomi nasional "tahan banting" menghadapi gejolak global. Namun, di tengah angka-angka yang indah itu, muncul pertanyaan sederhana dari masyarakat: kalau ekonomi kita tumbuh, kenapa hidup tetap terasa berat?

Fenomena ini menjadi ironi yang nyata. Di satu sisi, laporan makroekonomi menunjukkan keberhasilan. Tapi di sisi lain, masyarakat merasakan tekanan harga yang terus naik, pendapatan yang stagnan, dan kemampuan belanja yang menurun. Pertumbuhan ekonomi ternyata belum otomatis menjamin kesejahteraan rakyat.

Antara Angka dan Realita

Secara teori, pertumbuhan ekonomi yang tinggi seharusnya mencerminkan peningkatan produktivitas dan kesejahteraan masyarakat. Namun, dalam praktiknya, pertumbuhan Indonesia beberapa tahun terakhir lebih banyak didorong oleh sektor investasi dan ekspor komoditas, bukan dari kekuatan konsumsi rumah tangga.

Padahal, konsumsi rumah tangga adalah tulang punggung ekonomi Indonesia, menyumbang lebih dari 50 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Ketika daya beli masyarakat melemah, maka pertumbuhan ekonomi sebenarnya berdiri di atas pondasi yang rapuh.

Inflasi yang tinggi, terutama pada kebutuhan pokok seperti beras, cabai, dan minyak goreng, membuat pendapatan masyarakat tidak cukup menutupi kebutuhan dasar. Banyak pekerja di sektor informal yang penghasilannya tidak menentu, sementara harga terus naik. Akibatnya, mereka menahan konsumsi dan lebih memilih menabung untuk bertahan hidup.

Kondisi ini juga diperparah oleh biaya hidup yang terus meningkat di berbagai sektor. Harga transportasi naik, biaya pendidikan dan kesehatan semakin mahal, sementara lapangan kerja dengan gaji layak masih terbatas. Bagi sebagian besar masyarakat, setiap rupiah yang dikeluarkan harus dipikirkan dua kali. Mereka bukan tidak ingin berbelanja, tetapi sudah tidak punya ruang untuk melakukannya.

Ketimpangan dan Upah yang Tak Seimbang

Masalah daya beli juga berkaitan erat dengan ketimpangan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi sering kali lebih dinikmati oleh kalangan menengah ke atas atau wilayah perkotaan besar. Di daerah, terutama di luar Jawa, geliat ekonomi tidak terasa sekuat yang terlihat dalam statistik nasional.

Kenaikan upah juga tidak sebanding dengan peningkatan harga barang. Upah minimum yang naik setiap tahun memang terlihat seperti kemajuan, tapi jika inflasi lebih tinggi dari kenaikan upah, artinya daya beli tetap menurun. Dalam ekonomi, kondisi ini disebut sebagai purchasing power parity gap - celah antara nominal pendapatan dan kemampuan membeli barang riil.

Bagi pekerja kecil dan pelaku UMKM, situasi ini makin berat. Penjualan menurun karena masyarakat menahan belanja, sementara biaya produksi meningkat. Akhirnya, mereka terjebak dalam lingkaran sulit mau menaikkan harga takut kehilangan pelanggan, tapi kalau tidak dinaikkan, keuntungan makin tipis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline