Universitas Negeri Malang (UM) dikenal sebagai kampus inklusi dengan komitmen menyediakan akses pendidikan yang setara bagi seluruh mahasiswa, termasuk mahasiswa penyandang disabilitas. Komitmen ini diwujudkan melalui keberadaan Pusat Layanan Penyandang Berkebutuhan Khusus (PLPBK) dan UKM Gerakan Mahasiswa Peduli Inklusi dan Disabilitas (GEMPITA). Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai inklusi belum sepenuhnya hadir dalam kegiatan kampus. Salah satu contoh yang baru-baru ini terjadi adalah penolakan pendampingan terhadap calon mahasiswa tuli dalam Tes Mandiri Berbasis Komputer (TMBK) yang dilaksanakan pada 17 Juni 2025.
Dalam pelaksanaan TMBK, seorang peserta tuli datang dengan pendamping dari UKM GEMPITA, unit kegiatan mahasiswa yang berfokus pada isu inklusi dan disabilitas di UM. Pendamping dimaksudkan untuk membantu peserta memahami instruksi teknis ujian, mengingat panitia tidak menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI) atau alternatif lain yang sesuai. Namun, pihak panitia di lokasi menolak pendamping tersebut untuk masuk ke ruang ujian. Bahkan setelah dijelaskan bahwa peserta merupakan penyandang disabilitas tuli, panitia menyatakan bahwa "di dalam sudah ada yang mengarahkan" dan "buktinya tidak terjadi apa-apa", meskipun diakui tidak ada JBI.
Panitia beralasan bahwa pendamping tidak diperlukan karena sudah ada petugas yang memberikan arahan di dalam ruangan, serta soal TMBK tidak menggunakan audio sehingga dianggap tidak menyulitkan peserta tuli. Namun, alasan ini mengabaikan fakta bahwa peserta tetap perlu memahami instruksi teknis yang biasanya dijelaskan secara lisan. Tanpa kehadiran JBI atau pendamping, peserta tuli rentan mengalami miskomunikasi. Kehadiran pendamping seharusnya dipahami bukan sebagai gangguan, melainkan bentuk akomodasi yang justru membantu panitia dalam menyampaikan informasi. Maka, keputusan untuk menolak pendamping tanpa menyediakan solusi lain tidak bisa dianggap inklusif, bahkan mencerminkan kurangnya kesadaran terhadap kebutuhan dasar mahasiswa disabilitas.
Penolakan ini menunjukkan minimnya pemahaman panitia terhadap kebutuhan disabilitas, serta pengingkaran atas hak aksesibilitas komunikasi yang dijamin dalam Pasal 19 dan 24 Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Akibat kejadian tersebut, peserta tuli mengalami kebingungan selama proses ujian dan memilih langsung pulang setelah ujian selesai. Tidak diketahui secara rinci apakah ia dapat memahami seluruh instruksi ujian. Namun, ketidakhadiran pendamping dan JBI sangat mungkin mengganggu kenyamanan serta efektivitas pelaksanaan ujian.
Selain itu, ditemukan pula catatan dari pendamping lain, Gusti, yang mendampingi peserta dengan disabilitas netra (low vision). Ia menyampaikan bahwa proses pendampingan secara umum berjalan lancar, meskipun ia tidak memiliki tanda pengenal resmi sebagai pendamping dan hanya mengenakan PDH Gempita. Tidak ada proses verifikasi dari panitia, sehingga ia tetap diperbolehkan mendampingi. Namun, kendala utama justru muncul dari kondisi ruang ujian. Lokasi pelaksanaan TMBK menggunakan laboratorium komputer dengan sekat individual di setiap meja, sehingga tidak memungkinkan dua orang duduk berdampingan. Hal ini menyulitkan proses pendampingan, terutama bagi peserta dengan kebutuhan bantuan visual.
Gusti juga menyampaikan bahwa muatan soal ujian tidak ramah bagi peserta disabilitas. Peserta yang ia dampingi memerlukan pembacaan soal, termasuk soal matematika, penalaran, dan literasi yang sebagian memuat gambar. Tantangan yang ia hadapi meliputi hal-hal seperti tidak semua isi soal dapat dibacakan, terutama bagian visual seperti gambar, serta alokasi waktu pengerjaan yang tidak memperhitungkan kebutuhan khusus, seperti waktu tambahan untuk membaca dan menjelaskan ulang soal. Situasi ini membuat proses pendampingan terasa terburu-buru dan kurang maksimal.
Universitas Negeri Malang sebagai kampus inklusi telah memiliki pondasi kelembagaan untuk mendukung mahasiswa disabilitas, namun masih menghadapi tantangan dalam mengimplementasikan nilai-nilai tersebut secara merata di semua aspek. Kasus dalam TMBK menegaskan perlunya pembenahan sistemik, baik dari sisi regulasi, pelatihan, maupun pengawasan. Harapannya, kampus inklusi tidak hanya diwujudkan dalam bentuk lembaga, tetapi juga tercermin dalam praktik dan respons nyata dalam kehidupan kampus sehari-hari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI