Pagi itu, langit masih kelabu. Hujan deras turun sejak subuh, membasahi jalanan, menimbulkan genangan di beberapa titik. Di sekolah-sekolah, pemandangan serupa terjadi: sebagian siswa tiba dengan baju seragam yang basah, sebagian lagi datang terlambat, dan tak sedikit yang memilih absen dengan alasan "hujan."
Grup WhatsApp wali kelas pun mendadak ramai. Satu per satu orang tua menyampaikan kabar: ada yang izin karena anaknya basah kuyup kehujanan di jalan, ada yang mengabarkan pulang kembali ke rumah karena baju tidak bisa dipakai untuk belajar, dan ada pula yang meminta maaf datang terlambat lantaran hujan deras yang tak kunjung reda.
Derasnya hujan pagi itu benar-benar mengganggu aktivitas belajar. Bukan hanya soal basah dan dingin, tetapi juga soal keselamatan anak-anak saat menuju sekolah. Grup WhatsApp menjadi saksi bagaimana para orang tua berusaha bertanggung jawab menyampaikan kondisi, di tengah cuaca yang sulit diprediksi.
Namun, haruskah kita menyalahkan hujan? Bukankah hujan itu sejatinya berkah yang memberi kehidupan, menyuburkan tanah, dan menyejukkan udara? Justru di balik tetes-tetesnya, ada pelajaran berharga tentang kesabaran, kesiapan, dan cara manusia beradaptasi dengan keadaan. Hujan tidak datang untuk menghalangi, melainkan menguji: apakah kita menyerah pada kendalanya, atau menjadikannya kesempatan untuk melatih ketangguhan?
Sebenarnya, fenomena ini sudah menjadi cerita lama di dunia pendidikan kita. Setiap musim hujan, guru, orang tua, dan siswa kembali dihadapkan pada dilema yang sama: apakah hujan sah dijadikan alasan untuk telat atau bahkan tidak masuk sekolah?
Pertanyaan ini bukan sekadar soal teknis kehadiran, melainkan menyangkut nilai yang lebih dalam: disiplin, tanggung jawab, dan juga empati pada realitas sosial yang dihadapi siswa.
Antara Disiplin dan Alasan
Sekolah selalu menanamkan nilai disiplin. Siswa diajarkan untuk tepat waktu, konsisten hadir, dan menjalankan kewajiban tanpa banyak alasan. Bagi banyak guru, hujan bukan alasan yang cukup kuat untuk tidak datang. "Di dunia kerja nanti, kalau hujan deras pun, kita tetap harus berangkat. Kenapa sekolah harus berbeda?" begitu argumen yang sering terdengar.
Di sisi lain, kenyataan di lapangan jauh dari seragam. Ada siswa yang berangkat naik motor dengan jas hujan lengkap, ada yang diantar mobil orang tua, tapi ada juga yang berjalan kaki lebih dari dua kilometer melewati jalan berlumpur.
Bagi sebagian siswa, hujan deras berarti resiko sakit, pakaian basah kuyup, atau bahkan keterlambatan kendaraan umum. Maka, izin atau telat karena hujan menjadi jalan keluar paling realistis.
Realitas Sosial yang Tak Bisa Dipungkiri