Burnout bukan sekadar kelelahan biasa. Ini adalah kondisi kelelahan fisik, emosional, dan mental yang muncul akibat stres berkepanjangan di tempat kerja.
Fenomena ini tidak lagi sekadar persoalan individu, melainkan juga persoalan struktural dalam dunia kerja yang semakin kompetitif dan menuntut.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengakui burnout sebagai sindrom yang berkaitan dengan pekerjaan, ditandai oleh tiga aspek utama: kelelahan ekstrem, sinisme atau keterasingan terhadap pekerjaan, dan penurunan efektivitas profesional.
Di Indonesia, fenomena ini kian nyata, terutama di era kerja hibrida yang justru menipiskan batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
Budaya Kerja dan Ekspektasi yang Mencekik
Di banyak perusahaan, budaya kerja masih menekankan produktivitas sebagai tolak ukur utama keberhasilan.
Lembur dianggap sebagai bentuk dedikasi, sementara bekerja di luar jam kantor sering kali dijadikan kebanggaan, bukan alarm bahaya.
Tak jarang, pekerja yang menolak kerja berlebihan dianggap kurang berkomitmen atau tidak cukup ambisius.
Namun, kenyataannya, bekerja tanpa batas justru menciptakan lingkaran setan yang merugikan baik individu maupun perusahaan.
Studi dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa karyawan yang mengalami burnout memiliki tingkat absensi lebih tinggi, produktivitas menurun, dan lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental.
Penyebab burnout tak melulu soal jam kerja yang panjang.