Lihat ke Halaman Asli

Di Antara Globalisasi dan Kearifan Lokal: Dilema Identitas Budaya Pemuda di Era Digital

Diperbarui: 10 Juni 2024   19:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Globalisasi telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi masyarakat. Di satu sisi, globalisasi membuka peluang bagi pertukaran budaya, diseminasi pengetahuan, dan kolaborasi inovatif. Namun di sisi lain, arus globalisasi yang didominasi oleh budaya-budaya besar menimbulkan kekhawatiran akan erosi identitas dan kearifan lokal. Dalam menghadapi tantangan ini, kearifan lokal memegang peranan penting sebagai fondasi bagi masyarakat untuk meneguhkan jati diri. Kearifan lokal yang terekspresikan dalam bentuk nilai, norma, pengetahuan, dan praktik-praktik tradisional, dapat menjadi sumber daya berharga bagi masyarakat untuk beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi kompleksitas zaman. Generasi muda di era digital saat ini menghadapi tantangan unik dalam meneguhkan identitas budaya mereka. Kemajuan teknologi menciptakan ruang-ruang virtual yang memungkinkan terjadinya interaksi lintas-batas budaya secara masif. Hal ini dapat memperkaya wawasan dan membuka cakrawala pemikiran pemuda, namun juga berpotensi menyebabkan homogenisasi dan erosi identitas lokal. Untuk menghadapi dilema ini, pemuda ditantang untuk secara aktif meneguhkan jati diri budaya mereka, misalnya dengan mengeksplorasi warisan budaya, mempelajari sejarah lokal, dan mempraktikkan tradisi-tradisi. Penggunaan media digital yang bijak juga dapat menjadi sarana untuk mendokumentasikan, mempromosikan, dan mendialogkan kekayaan budaya lokal. Selain itu, pemuda dapat berperan aktif dalam mengembangkan budaya populer yang berlandaskan pada nilai-nilai kearifan lokal. Dengan demikian, identitas budaya pemuda di era digital harus dipahami sebagai sebuah konstruksi yang dinamis, yang membutuhkan upaya sadar dan kreatif untuk meneguhkan dan mengekspresikannya, sehingga dapat menyeimbangkan antara adaptasi dan pelestarian.

Kearifan lokal memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga identitas budaya suatu masyarakat di tengah arus globalisasi. Kearifan lokal juga berperan sebagai mekanisme adaptif bagi masyarakat untuk merespon perubahan dan tantangan zaman. Unsur-unsur kearifan lokal yang fleksibel dan kontekstual memungkinkan masyarakat untuk melakukan proses reinterpretasi, rekontekstualisasi, dan transformasi budaya sesuai dengan perkembangan jaman (Ramdani, 2018). Melalui upaya ini, kearifan lokal dapat terus relevan dan berkontribusi dalam percaturan budaya global. Lebih lanjut, kearifan lokal berfungsi sebagai sarana untuk melestarikan dan mewariskan warisan budaya. Nilai, pengetahuan, dan praktik-praktik tradisional yang terkandung dalam kearifan lokal menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda untuk memahami dan menghargai identitas budaya mereka.Hal ini penting untuk memastikan keberlanjutan dan transformasi budaya di tengah arus globalisasi. Dalam konteks Indonesia, kekayaan budaya lokal yang beragam merupakan aset berharga yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat ketahanan budaya bangsa. Melalui upaya pelestarian, revitalisasi, dan pemberdayaan kearifan lokal, masyarakat Indonesia dapat mempertahankan identitas budaya di tengah percaturan global yang semakin kompleks. 

Dengan memanfaatkan dan mengembangkan kearifan lokal, masyarakat Indonesia dapat mempertahankan identitas budaya sekaligus berpartisipasi dalam percaturan budaya global yang semakin terbuka. Hal ini memungkinkan Indonesia untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam mempengaruhi arah perkembangan budaya dunia. Pemuda Indonesia saat ini tengah dihadapkan pada tantangan kompleks dalam menyikapi dinamika antara modernitas global dan kelestarian kearifan lokal. Globalisasi telah mempengaruhi gaya hidup, preferensi, dan orientasi nilai-nilai di kalangan pemuda. Banyak pemuda yang mulai meninggalkan praktik-praktik tradisional dan mengadopsi nilai-nilai individualisme, konsumerisme, dan pragmatisme. Namun, sebagian pemuda juga menunjukkan kesadaran dan kepedulian yang semakin meningkat terhadap kelestarian kearifan lokal. Perkembangan teknologi digital dan media sosial juga memberikan dampak signifikan terhadap pembentukan identitas budaya di kalangan pemuda (Yandip, 2017). Ruang digital yang semakin terbuka telah memperluas akses pemuda terhadap budaya populer global, yang seringkali menggeser atau menggantikan praktik-praktik budaya lokal. Media sosial juga turut memfasilitasi proses homogenisasi budaya, menciptakan semacam "budaya global remaja". Di sisi lain, teknologi digital juga membuka peluang bagi pemuda untuk memperkuat identitas budaya lokal mereka melalui gerakan revitalisasi warisan budaya dan pemanfaatan media digital.

Pemuda Indonesia saat ini dihadapkan pada dilema yang kompleks dalam memposisikan diri di tengah arus globalisasi dan tuntutan untuk mempertahankan identitas budaya lokal. Di satu sisi, mereka terpesona oleh pesona budaya populer global yang dianggap lebih modern dan progresif. Namun di sisi lain, mereka juga memiliki tanggung jawab untuk melestarikan warisan budaya yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Globalisasi yang dipicu oleh kemajuan teknologi digital dan media sosial, telah membawa masuk berbagai elemen budaya asing ke dalam kehidupan pemuda. Gaya hidup, tren fashion, musik, dan pola konsumsi yang berasal dari budaya Barat atau Asia Timur dengan cepat diadopsi dan menjadi bagian integral dari keseharian mereka. Hal ini tidak jarang menggantikan praktik-praktik budaya tradisional yang sebelumnya telah mengakar kuat dalam masyarakat. Di sisi lain, pemuda juga menyadari pentingnya melestarikan identitas budaya lokal sebagai bagian dari warisan leluhur. Namun, upaya untuk mempertahankan kearifan budaya seringkali dipandang kuno, ketinggalan zaman, dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman modern (Nahak, 2019). Akibatnya, timbul perasaan konflik internal dalam diri pemuda, di mana mereka dihadapkan pada pilihan sulit antara mengadopsi budaya global yang dianggap lebih progresif atau tetap mempertahankan identitas budaya lokal. Konflik ini semakin diperparah oleh minimnya ruang dan kesempatan bagi pemuda untuk mempelajari, mengeksplorasi, dan mempraktikkan budaya tradisional. Kurangnya kurikulum pendidikan yang memuat konten budaya lokal, minimnya infrastruktur budaya yang dapat diakses pemuda, serta kurangnya dukungan kebijakan dan program pemberdayaan dari pemerintah, turut mempersempit akses pemuda terhadap kearifan budaya.

Dalam menghadapi dilema ini, pemuda memerlukan bimbingan, pendampingan, serta ruang untuk berdialog dan berkolaborasi dengan berbagai pemangku kepentingan. Upaya-upaya strategis untuk memperkuat kapasitas pemuda dalam memahami, melestarikan, dan memanfaatkan teknologi digital guna mempromosikan identitas budaya lokal menjadi sangat penting. Hanya dengan cara demikian, pemuda dapat menjadi agen perubahan yang mampu menyeimbangkan antara tuntutan globalisasi dan tanggung jawab untuk menjaga warisan budaya Indonesia. Pembentukan identitas budaya pada diri pemuda tidak dapat dilepaskan dari tiga pilar utama, yaitu keluarga, pendidikan, dan lingkungan (Putri, Dewi, & Dewi, 2023).  Ketiga aspek ini saling berkaitan dan memainkan peran penting dalam proses internalisasi nilai-nilai budaya, penguatan rasa memiliki terhadap warisan leluhur, serta pengembangan kepribadian yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peran fundamental dalam mewariskan dan menanamkan identitas budaya kepada generasi muda. Melalui sosialisasi nilai, tradisi, dan praktik-praktik budaya yang dilakukan dalam lingkungan keluarga, pemuda memperoleh landasan yang kuat untuk mengembangkan kepribadian dan mempertahankan identitas budaya lokal. Selain keluarga, sistem pendidikan formal juga berperan penting dalam memfasilitasi proses transmisi budaya melalui kurikulum yang memuat materi pembelajaran tentang sejarah, bahasa, seni, dan aktivitas budaya lokal. Hal ini memungkinkan pemuda untuk mempelajari, memahami, dan mengapresiasi warisan budaya mereka. Lingkungan sosial juga memberikan kontribusi signifikan dalam pembentukan identitas budaya pemuda. Melalui interaksi dan partisipasi dalam kegiatan budaya setempat, pemuda memperoleh pengalaman langsung dalam mempraktikkan dan melestarikan kearifan lokal. Sinergi antara keluarga, pendidikan, dan lingkungan ini membentuk identitas budaya pemuda secara komprehensif, yang membutuhkan dukungan kebijakan dan program dari pemerintah.

Bourdieu berpandangan bahwa struktur sosial terbentuk melalui interaksi berbagai jenis modal yang dimiliki individu, seperti modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik (Bourdieu, 2015). Dalam konteks pemuda, kepemilikan atas modal-modal ini akan menentukan posisi mereka dalam ruang sosial serta kemampuan untuk memproduksi dan mereproduksi praktik-praktik budaya. Di era digital, pemuda memiliki akses luas terhadap modal budaya global melalui media digital, yang dapat memberikan mereka keuntungan dalam meningkatkan status sosial dan mobilitas. Namun, hal ini juga dapat mengikis modal budaya lokal yang telah terinternalisasi dalam habitus mereka. Bourdieu menekankan bahwa habitus, sebagai sistem disposisi yang terinternalisasi, adalah kunci dalam memahami bagaimana individu mempersepsi, mengevaluasi, dan bertindak dalam ruang sosial (Ritzer & Goodman, 2020). Dalam konteks pemuda, habitus budaya lokal yang terbentuk sejak kecil dapat tergerus oleh hadirnya habitus budaya global yang diadopsi melalui interaksi digital. Selain itu, Bourdieu juga menekankan pentingnya ranah (field) sebagai arena di mana berbagai modal diperebutkan (Mustikasari, Arlin, & Kamaruddin, 2023). Dalam era digital, ranah budaya lokal yang semula terisolasi kini semakin terbuka dan bersinggungan dengan ranah budaya global. Pemuda dihadapkan pada tantangan untuk mempertahankan modal budaya lokal mereka menghadapi dominasi modal budaya global yang lebih tinggi. Bourdieu menyarankan agar pemuda dapat mengembangkan kemampuan refleksif, yaitu kesadaran kritis akan posisi mereka dalam ruang sosial dan kemampuan untuk mengelola berbagai modal yang dimiliki, sehingga dapat mengonstruksi identitas budaya yang seimbang, dengan tetap mempertahankan kearifan lokal sambil beradaptasi dengan tuntutan global.

Pemuda Indonesia berada di persimpangan antara mengadopsi nilai-nilai global yang dianggap lebih modern dan progresif, atau mempertahankan kearifan lokal yang diyakini dapat memberikan fondasi identitas budaya yang kuat. Kesadaran akan pentingnya menjaga keseimbangan antara adaptasi terhadap perubahan global dan pelestarian warisan budaya lokal menjadi kunci penting bagi pemuda dalam menyikapi tantangan zaman. Upaya-upaya pemberdayaan, pendidikan, dan penguatan jejaring pemuda yang menghargai dan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam strategi pembangunan yang berkelanjutan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dengan demikian, generasi muda diharapkan dapat menjadi agen perubahan yang mampu menjembatani globalisasi dan kearifan lokal, sehingga identitas budaya Indonesia tetap lestari dan memberikan kontribusi positif dalam menghadapi dinamika zaman.

Daftar Pustaka :

Bourdieu, P. (2015). Arena Produkkultural Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.

Mustikasari, M., Arlin, & Kamaruddin, S. A. (2023). Pemikiran Pierre Bourdieu dalam Memahami Realitas Sosial. Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora.

Nahak, H. M. (2019). UPAYA MELESTARIKAN BUDAYA INDONESIA DI ERA GLOBALISASI. Jurnal Sosiologi Nusantara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline