Lihat ke Halaman Asli

Tjahjono Widarmanto

Penulis dan praktisi pendidikan

Gali Nilai Sejarah Lokal, Teguhkan Identitas Keindonesiaan

Diperbarui: 1 Oktober 2020   06:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi Penjual kain tenun asal Kecamatan Mapitara di Pasar Alok, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (9/4/2019). (Foto: KOMPAS.com/NANSIANUS TARIS)

"Keberadaan sejarah Indonesia tak bisa dilepaskan dari sejarah lokalitas. Ibarat puzzel, sejarah lokal merupakan kepingan-kepingan yang disusun sebagai bentuk dan wajah yang utuh."

Setiap komunitas, etnis, bangsa atau suku bangsa secara dialektis mengalami proses perkembangan masing-masing. Proses perkembangan masing-masing komunitas, etnik, bangsa atau suku bangsa itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. 

Faktor-faktor itu antara lain faktor geografis, kultur, kebiasaan, tradisi. Faktor-faktor itulah yang menjadikan mereka memiliki perkembangan sejarahnya sendiri-sendiri.

Sejarah menjadi sangat penting bagi manusia karena merupakan perspektif kesadaran manusia dalam dimensi kesadaran waktu saat mengonstruksi eksistensi kehidupannya.

Dimensi kesadaran waktu itu meliputi masa lalu, masa kini dan masa mendatang. Sejarah tak sekedar merekam masa silam namun merespon pengalaman. 

Pengalaman merupakan kacabenggala untuk menentukan strategi dalam menapak kehidupan masa kini. Masa kini merupakan langkah untuk memasuki masa yang akan datang yang penuh cita-cita, harapan dan hal-hal yang diidealkan.

Kesadaran sejarah atau kesadaran historis berarti pemahaman kolektif dalam memahami kekinian dengan melalui bingkai masa lalu yang berupa pengalaman kolektif untuk menapaki masa kini yang berorientasi pada masa depan. 

Oleh karena itulah memahami sejarah adalah menakar kembali visi atau pandangan saat ini dengan belajar dan membandingkan dengan masa lalu untuk merancang masa depan.

Mempelajari dan menulis sejarah merupakan upaya sadar untuk menafsirkan, meneruskan, sekaligus merekonstruksi ulang tradisi komunitas, etnik atau suku bangsa sekaligus merekonstruksi ulang tradisi komunitas, etnik atau suku bangsa berikut sumbangannya kepada kebudayaan dan peradaban. 

Pada posisi inilah bisa ditinjau adanya titik singgung antara sejarah dan kebudayaan. Dalam bukunya The Long Revolution (1965), Raymonds Williams menunjukkan titik singgung itu sebagai tiga ranah kebudayaan, yaitu ranah konsep, ranah catatan-catatan (dokumenter) yang mencatat struktur imajinasi, pengalaman, dan pemikiran manusia, dan ranah teks kebudayaan yang berupa teks dan performance yang dilakukan oleh sebuah komunitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline