Lihat ke Halaman Asli

Pelajaran Mahal dari Pati, Arogansi Pejabat Dihantam Suara Rakyat!

Diperbarui: 14 Agustus 2025   18:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bupati Pati, Sudewo memberikan penjelasan dalam sebuah kesempatan di podium Pendopo Kabupaten Pati. (Dok Prokompim Setda Kabupaten Pati) 

Seorang pemimpin berdiri tegak di hadapan rakyatnya yang marah. Bukannya meredam, ia justru menuang bensin ke api yang sudah berkobar. Dengan suara lantang, ia berkata, 

"Bukan hanya 5.000, 50.000 orang pun saya hadapi. Saya tidak akan gentar, saya tidak akan mengubah keputusan."

Kalimat itu, diucapkan oleh Bupati Pati, Sudewo, terdengar seperti dialog film laga. Gagah, tegas, dan tak tergoyahkan. Tembok arogansi yang seolah mustahil diruntuhkan. Namun, dalam hitungan hari, tembok itu runtuh berkeping-keping. Bukan oleh 50.000 massa, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih kuat. Kombinasi dahsyat antara suara rakyat yang menggema di seluruh negeri dan satu perintah singkat dari Istana Presiden.

Ini bukan sekadar berita daerah. Ini adalah drama kolosal tentang kekuasaan, keangkuhan, dan pelajaran mahal yang harus ditelan seorang pemimpin ketika ia lupa siapa yang sebenarnya ia layani. 

Mari kita bedah resep komplit bencana politik yang terjadi di Pati ini, babak demi babak.

Arogansi Bupati Pati naikkan PBB 250% dan tantang warga dilawan. Viral, Presiden Prabowo perintahkan pembatalan, buktikan suara rakyat didengar. - Tiyarman Gulo

Bom Waktu yang Dinyalakan Sendiri

Semua kekisruhan ini bermula dari sebuah kebijakan yang, di atas kertas, mungkin terdengar masuk akal bagi seorang birokrat. Menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). Alasannya? Sudah 14 tahun tarifnya tidak pernah naik, dan Pemkab butuh dana untuk pembangunan.

Masalahnya bukan pada "kenapa"-nya, tapi pada "bagaimana"-nya. Bupati Sudewo tidak menaikkannya sedikit. Angkanya fantastis. 250 persen!

Coba kita terjemahkan angka itu ke bahasa sehari-hari. Jika uang kos, cicilan motor, atau tagihan internet Anda yang biasanya Rp500.000, bulan depan tiba-tiba melonjak menjadi Rp1.750.000. Tanpa diskusi, tanpa peringatan yang memadai. Tentu Anda akan panik, marah, dan merasa dicekik.

Itulah yang dirasakan warga Pati. Petani, pedagang kecil, guru, hingga ibu rumah tangga tiba-tiba dihadapkan pada lonjakan beban yang tidak main-main. Di tengah kondisi ekonomi yang, mari jujur, masih butuh banyak pemulihan, kebijakan ini terasa seperti tamparan keras. Protes pun mulai bermunculan. Wajar, bukan? Siapa pun di posisi mereka pasti akan melakukan hal yang sama. Di sinilah seharusnya seorang pemimpin menunjukkan kebijaksanaannya, membuka ruang dialog, dan mendengarkan.

Tapi yang terjadi di Pati justru sebaliknya. Sang Bupati memilih jalan konfrontasi.

Yang Mengubah Protes Jadi Perlawanan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline