Bab 9: Inggris, dan Bahasa yang Tidak Menyelamatkanku
Hari pertama di Inggris, aku tidak tahu apa yang kurasakan.
Bahagia? Mungkin.
Sedih? Jelas.
Takut? Iya.
Khawatir? Sudah pasti.
Semuanya bercampur jadi satu---seperti kabut London yang dingin, tebal, dan tidak bisa ditebak arahnya.
Ini dunia baru. Jalanan berbeda. Wajah-wajah asing. Makanan asing. Bahkan suara klakson pun terasa berbeda.
Dan yang paling membuatku terdiam: aku tidak merasa mengerti apapun.
Padahal aku sudah belajar bahasa Inggris sejak SMP, SMA, kuliah, dan kursus enam bulan sebelum berangkat. Tapi semua itu mendadak lenyap saat duduk di ruang kuliah pertama.
Dosen berbicara cepat. Dengan aksen Inggris yang tidak seperti di kaset TOEFL.
Kadang ia bercanda. Mahasiswa lain tertawa.
Aku ikut tertawa---tapi bukan karena aku paham. Tapi karena aku menertawakan diriku sendiri.
Aku merasa seperti sedang duduk di bioskop dengan subtitle rusak.
Gambarnya jalan, suaranya jelas, tapi maknanya hilang.
Di luar kelas, keadaannya tak jauh beda.
Suatu hari aku tersesat di jalan.
Aku memberanikan diri bertanya pada seorang pria bule paruh baya yang lewat. Aku sudah siapkan kalimat, sudah kuatur pengucapan, kupilih kata-kata sederhana.
"Excuse me, where is the nearest bus stop?"
Mulutku sudah monyong-monyong, konsonan sudah kupahat sejelas mungkin. Tapi dia hanya memiringkan kepala.
"Sorry?" katanya.
Aku ulangi. Lebih pelan.