Lihat ke Halaman Asli

Thoriq Shoma

Mahasiswa UIN Walisongo Semarang

Sejarah Peristiwa Tragis 10 Muharam Serta Faedahnya

Diperbarui: 10 September 2019   06:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(doc. kompasiana.com)

Sebelum membaca lebih jauh, mari kita membaca surat al-Fatihah terlebih dahulu yang ditujukan kepada nabi Muhammad SAW, para keluarganya, para sahabatnya, serta orang-orang yang mencintai beliau khususnya ditujukan kepada cucu nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Husein bin Ali, al-Fatihah..

Dewasa ini khususnya di Indonesia, pertarungan politik untuk memperoleh suatu kekuasaan atau jabatan tidak jarang sekali terelakkan. Sampai kemudian menggunakan cara-cara yang sangat jauh dari kebenaran tuntunan yang terkandung dalam agama, misalnya politisasi agama. 

Agama layaknya komoditas yang diperjual-belikan demi hasrat sesaat untuk memperoleh kekuasaan.

Fenomena tersebut tidak jauh berbeda motifnya dengan kondisi masyarakat muslim pasca sepeninggal nabi Muhammad SAW. Saat itu bisa digambarkan bahwa keadaan masyarakat menjadi kacau setalah nabi SAW wafat.

Sampai kemudian dibutuhkan seorang pemimpin pengganti nabi Muhammad SAW untuk memimpin dan membimbing umat serta meneruskan perjuangan nabi yaitu menyebarkan dan mengajarkan ajaran-ajaran Islam, sehingga outputnya adalah terwujudnya manusia yang berakhlak. Hal itu senada dengan hadis yang berbunyi, "Sesungguhnya aku (nabi) diutus hanya untuk menyempurnakan kesalihan akhlak." (HR. al-Baihaqi)

Seiring pergantian khalifah, dari mulai masa kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq sampai masa kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Persoalan muncul sangat mencolok ketika kepemimpinan jatuh di tangan Utsman bin 'Affan, salah satu contoh persoalannya yaitu kebijakan sang Khalifah dalam mengangkat pejabat-pejabat, yang mayoritas hanya dari kalangan keluarganya. Hal itu tentu menuai kecaman dari berbagai sahabat yang lain. Fenomena yang tak lain hanya seputar politik kekuasaan itu, lebih jauh sampai tega menumpahkan darah antar sesama sahabat nabi. Sebagai salah satu contoh, Utsman bin 'Affan dibunuh dengan dipenggal kepalanya oleh Muhammad bin Abu Bakar saat sedang membaca al quran.[1]

Kurang lebih 1380 tahun yang lalu, tepatnya 10 Muharam tahun 61 H saat dinasti Umayyah berkuasa dan dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah, kejadian yang tragis seperti di atas terulang kembali. 

Kejadian tragis itu menimpa cucu nabi Muhammad SAW yaitu Sayyidina Husein bin Ali beserta para rombongannya yang saat itu sedang dalam perjalanan menuju ke Iraq untuk memenuhi suatu panggilan.

Sesampai di padang Karbala, Husein beserta rombongan yang berjumlah sekitar 72 (kutipan Prof. Nadirsyah Hosen dari Ibn Katsir)  orang itu  dihadang oleh pasukan Ziyad bin Habih (seorang gubenur Muawiyah) atas perintah dari Ubaidullah bin Ziyad. Peperangan tak dapat dibendung, semua pasukan Husein dihabisi termasuk Husein sendiri kecuali Zainab yang sedang sakit dan Ali Zainal Abidin yang ketika itu masih kecil (Imam Baehaqi, 2010: 26).

Sama seperti pembunuhan Utsman bin 'Affan, Husein pun dibunuh dan dipenggal kepalanya oleh Sinan bin Anas bin Amr Nakhai (kutipan Prof. Nadirsyah Hosen dari Ibn Katsir dalam kitab Al-Bidayah, 8/204). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline