Pagi itu, langit Yogyakarta berhiaskan awan tipis ketika saya melangkahkan kaki menuju Alun-alun Utara. Dari jalan Taman saya berbelok ke kiri, kemudian memotong jalan menuju Sidomukti dan Rotowijayan untuk sejenak beristirahat di depan Museum Wahanarata.
Jalanan di sekitar alun-alun sudah ramai. Orang-orang berdatangan dari berbagai penjuru: ada yang berbusana tradisional, ada pula yang mengenakan pakaian kasual. Beberapa turis asing tampak antusias mengabadikan momen dengan kamera mereka.
Alun alun utara. (Dokumentasi Pribadi)
Awalnya saya berniat menuju Masjid Gedhe Kauman, tetapi rencana berubah begitu melihat massa yang sudah sangat padat di sebelah barat alun-alun. Daripada terjebak di arus peziarah dan pedagang, saya memutuskan mengubah arah, bukan lagi ke masjid, melainkan ke Keraton.
Di sanalah gunungan akan keluar, arak-arakan abdi dalem akan melintas dengan pakaian adat lengkap, membawa aroma masa lalu yang masih hidup di antara tembok putih dan regol megah.
Di halaman, banyak pedagang menjajakan berbagai makanan dan minuman, termasuk es dawet yang tampaknya menjadi favorit. Kerumunan massa menunggu prosesi Grebeg Maulid yang akan keluar dari Keraton. Selain berkumpul di tepian jalan, banyak juga yang duduk santai di pedestrian.
Pagi itu istimewa, bukan hanya sekadar Grebeg Maulid, melainkan Grebeg Maulud pada tahun Dal yang hanya ada setiap delapan tahun sekali.
Keraton Yogya. (Dokumentasi Pribadi)
Di pojok pintu masuk kawasan keraton, saya membeli tiket masuk seharga Rp20.000 untuk menyaksikan perayaan ini langsung dari dalam.
"Maaf, Bapak, tempat duduk sudah habis, tapi bisa masuk dan mengikuti acara sambil berdiri," kata petugas di loket.