Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Luka yang Dipoles & Kemunafikan Kolektif

Diperbarui: 25 April 2025   13:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wajah Indonesia : ilustrasi AI


"Kadang saya tak tahu lagi apakah sedang hidup di negara yang digadang-gadang besar dan hebat atau sedang terjebak dalam panggung sandiwara yang terus diulang."

Beberapa minggu terakhir saya merasa gamang. Kegamangan yang bukan karena cuaca atau kesibukan, melainkan karena realitas negeri ini terasa semakin kabur. Kita mendengar kabar tentang kontroversi ijazah palsu, makan siang gratis yang  jadi ajang perdebatan, pengangguran muda yang kian membesar, dan di tengah itu semua, muncul figur-figur yang menjual agama untuk popularitas dan keuntungan kelompok.

Sementara itu, di sisi lain layar, kita terus menyebut-nyebut mimpi besar: Indonesia Emas 2045. Kita seakan sepakat bahwa bangsa ini tengah menuju puncak kejayaan. Tapi benarkah demikian?

Saya tidak bermaksud meremehkan mimpi itu. Tapi saya ragu, apakah kita sungguh sedang mendaki, atau sekadar memutari bukit yang sama---terjebak dalam masa lalu yang tak pernah kita selesaikan, dalam narasi sejarah yang tak pernah jujur kita akui.

Redefinisi Pahlawan!
Kita tahu, tidak semua yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan adalah pahlawan sejati. Dan bahkan seiring berjalannya waktu akan makin banyak lagi tokoh yang menyandang gelar pahlawan, bahkan pahlawan nasional.

Sebaliknya, ada banyak sosok yang benar-benar berjuang demi bangsa, memilih diam karena menolak tunduk pada narasi resmi. Mereka disingkirkan, dilupakan, dan bahkan difitnah. Lalu kita bertanya: siapa yang benar, siapa yang dibenarkan?
Kita adalah bangsa yang suka upacara, tapi enggan membuka luka. Kita lebih senang merayakan sejarah yang aman, ketimbang menyelami kenyataan yang getir. Sejarah kita rapi, tapi hanya di permukaan. Di dalamnya masih penuh luka yang sengaja kita poles.

Terjebak Dosa Lama, Hidup dalam Kemunafikan Kolektif
Bangsa ini belum pernah sungguh-sungguh mengakui kesalahan masa lalunya. Dari pembungkaman pemikiran kritis, pembersihan ideologi, penghapusan sejarah, hingga stigmatisasi terhadap kelompok tertentu---semua itu kita bungkus dengan istilah-istilah manis: rekonsiliasi, persatuan, stabilitas nasional.

Padahal kita tahu. Kita semua tahu.
Tapi kita diam. Dan dari diam itu lahirlah kemunafikan kolektif: kita pura-pura bangga, pura-pura paham, pura-pura damai.

Feodalisme dalam Wajah Baru
Kita ingin bergerak maju, tapi tetap mengandalkan cara-cara lama. Kita menolak feodalisme, tetapi terus memelihara dinasti. Kita bicara meritokrasi, tapi tetap memilih berdasarkan koneksi dan loyalitas. Feodalisme kini tak lagi datang dalam bentuk keris dan blangkon---ia datang seperti bekatul: halus, nyaris tak terlihat, tapi menyusup ke mana-mana.

Kita membanggakan demokrasi, tapi masih mengandalkan patronase. Kita mengganti tokoh, tapi sistemnya tetap. Kita memilih pemimpin baru, tapi cara berkuasanya sama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline