Anda pernah melakukan perjalanan darat ke Bali atau antara Banyuwangi-Jember. Tentu jalur Gumitir akan Anda lalui. Sebuah jalur yang membelah hutan tropis. Seakan sejengkal apa yang disebut sebagai Zamrud Khatulistiwa sedang tumpah di jalur ini. Pemandangan hutan yang khas dan aroma alam seakan meliputi rasa sebagai manusia. Tapi bagaimana kondisinya saat ini?
Jalur Gumitir penghubung krusial Kabupaten Banyuwangi dan Jember, kini menunjukkan kerapuhan di balik vitalitasnya. Membentang sepanjang kurang lebih delapan kilometer, jalur ini setiap hari dilintasi ribuan kendaraan yang menyimpan cerita panjang tentang usia, tekanan, dan kelelahan alam yang semakin mengkhawatirkan.
Di sejumlah titik kritis, keretakan dan potensi longsor mulai mengancam keselamatan pengguna jalan. Pada KM 233+500 tepatnya di area Bah Singo, kerusakan semakin parah. Pemerintah pun berencana menutup sementara jalur ini untuk memulai proses revitalisasi secara menyeluruh.
Gunung Gumitir yang menjadi latar bentang alam jalur ini bukan sembarang bukit. Menurut General Manager Unesco Global Geopark Ijen, Abdillah Baraas, S.T., Gumitir merupakan sisa dari gunung api raksasa yang aktif sekitar 30 juta tahun lalu dan tidak menunjukkan aktivitas selama lima juta tahun silam.
"Bayangkan, dulunya itu adalah gunung tinggi. Sekarang tinggal bukit-bukit tua yang diam," ujar Abdillah saat siaran langsung di Radio Bintang Tenggara, pada Minggu (13/7/2025) lalu.
Struktur geologis Gunung Gumitir tergolong rapuh. Berbeda dari pegunungan muda di utara Jawa Timur, batuan penyusunnya sangat rentan terhadap longsor, terutama saat musim hujan tiba. Kombinasi usia geologis dan beban fungsional yang berat membuat jalur ini semakin tidak stabil.
Setiap harinya, kendaraan dari sepeda motor hingga truk logistik dengan muatan besar melintas tanpa henti. Volume dan bobot lalu lintas diyakini mempercepat proses pelapukan dan instabilitas tanah.
"Alam punya cara tersendiri untuk memulihkan tubuhnya, salah satunya lewat longsor. Dan itu kerap terjadi di Gumitir," jelas Abdillah.
Fenomena alterasi tanah juga turut memperburuk kondisi. Warna tanah kemerahan yang muncul di beberapa titik menandakan perubahan fisik dan kimiawi pada struktur tanah, memperlemah daya tahan kawasan tersebut.
Menghadapi situasi ini, Abdillah menilai percepatan pembangunan JLS dan optimalisasi jalur utara menjadi solusi paling bijak demi mengurangi ketergantungan terhadap jalur Gumitir.