Lihat ke Halaman Asli

Tabrani Yunis

TERVERIFIKASI

Tabrani Yunis adalah Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, juga sebagai Chief editor majalah POTRET, majalah Anak Cerdas. Gemar menulis dan memfasilitasi berbagai training bagi kaum perempuan.

Membaca Gembira

Diperbarui: 1 November 2017   09:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi

Oleh Tabrani Yunis

Dalam banyak cerita, dalam banyak survey dan dalam amatan banyak orang, katanya minat baca di negeri kita Indonesia ini masih sangat rendah. Bila menggunakan hasil survey PISA pada tahun 2000, Indonesia berada pada peringkat ke 60 dari 61 negara. Begitu rendahnya peringkat kita. 

Hal senada, Cahyu Cantika Amiranti dalam tulisannya di KOMPAS.com -- 22/06/17 menyebutkan bahwa minat baca masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, masih sangat rendah. Data dari United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) menunjukkan, persentase minat baca anak Indonesia hanya 0,01 persen. Artinya, dari 10.000 anak bangsa, hanya satu orang yang senang membaca. Masih banyak data lain yang bisa kita jadikan referensi, namun fakta tersebut akan menceritakan hal yang sama, yakni minat baca yang rendah dan berada pada titik nadir.

Dari banyak pemberitaan, dari banyak pembicaraan dimana saja, dalam diskusi warung kopi, seminar, dalam tulisan-tulisan di surat kabar, bahkan di masyarakat umum, kita selalu mendengar tentang buruknya peringkat budaya baca masyarakat kita di Indonesia. Dapat dimengerti bahwa dari semua perbincangan tersebut, ternyata masalah besar yang sedang dihadapi oleh bangsa ini masih berkutat pada masalah minat baca, kemampuan  atau daya baca, atau budaya baca yang rendah itu. Ya, harus diakui bahwa membaca, kata banyak orang selama ini menjadi masalah besar. 

Masalahnya bukan pada membaca, tetapi ada pada orangnya. Ya, pasti benarlah, mana mungkin yang salah adalah membaca. Pasti orangnya yang salah, malas atau tidak mau membaca. Kemalasan membaca itu bukan saja pada tataran orang tua, yang tidak membaca karena banyak faktor, seperti tidak punya waktu, tidak sempat, karena sibuk bekerja dan banyak yang beralasan mata sudah tidak sanggup lagi membaca huruf-huruf karena sudah harus berkacamata plus atau pun minus, sudah cepat lelah dan sebagainya. Kita bisa fahami, tetapi bagaimana dengan para pelajar yang masih duduk di bangku sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajat serta para mahasiswa?

Rendahnya minat baca dan apa lagi menulis di kalangan pelajar di semua jenjang pendidikan itu adalah sebuah penyakit yang harus segera diobati. Untuk mengobati penyakit ini, maka diperlukan upaya yang serius untuk mencari akar masalahnya. Mencari akar masalah (the root of the problems) itu perlu dan penting, agar kita tidak salah dalam mengobati penyakit. Ya tidak salah obat. Karena selama ini banyak pejabat pemerintah yang berwenang menangani penyakit pendidikan di tanah air, banyak yang malapraktik. Salah diagnosis,salah analisis dan akhirnya salah hasil diagnosis dan analisis. Akibatnya, ya salah obat. Nah, ketika salah obat, berarti penyakit yang diderita tidak sembuh-sembuh, malah sebaliknya menjadi penyakit yang menahun alias kronis dan tak kunjung sembuh. Oleh sebab itu, pastikan dahulu apa yang menjadi penyakit membaca bangsa kita. Apakah penyakitnya memamg "malas"? Atau ada kesalahan lain dari pembangunan pendidikan kita yang tidak mendorong dan membuat generasi bangsa ini tidak membaca.

Yang sering terdengar ketika menyebut minat baca yang rendah adalah keluarnya kata malas membaca. Padahal di sisi lain, banyak orang yang mau membaca, tetapi tidak tersedia bacaan-bacaan, buku dan majalah yang menarik untuk dibaca. Banyak pihak, termasuk pemerintah, hanya bisa beretorika, hanya bisa berkampanye menyampaikan bahwa membaca adalah jendela ilmu, membaca adalah ini dan itu. 

Pemerintah bahkan hanya gemar mengimbau atau mengajak masyarakat membaca, tetapi tidak diikuti dengan sungguh-sungguh dengan menyediakan bahan bacaan yang menarik dan dibutuhkan oleh masyarakat. Sebagai salah satu contoh saja, berapa banyak desa atau kampong di Indonesia yang menempelkan surat kabar di kantor-kantor desa? Padahal, berapalah harga langganan sebuah terbitan koran setiap bulan. 

Tentu tidak besar. Namun yang terjadi, orientasi pembangunan desa hanya pada pembangunan-pembangunan fisik yang bersifat proyek yang menguntungkan seperti membangun saluran, memperbaiki jalan yang sudah dibuat dan percepat rusak dan sebagainya. Media untuk dibaca tidak tersedia. Begitu pula halnya di sekolah. Bagaimana anak bisa rajin membaca, apabila perpustakaan sekolah tidak memiliki daya tarik, baik buku maupun fasilitas baca lainnya. Jangankan anak-anak, guru pun malas membaca, apalagi kepala sekolah? Jadi sangat ironis, bukan?

Padahal, keluarga, sekolah dan masyarakat, sebagai lembaga pendidikan bagi anak, tidak boleh tidak memiliki kemauan membaca, tidak boleh rendah daya atau kemampuan membaca dan tidak boleh tidak membiasakan dan membudayakan membaca. Karena sebuah lembaga pendidikan yang tidak atau kurang membaca, maka konsekwensinya adalah akan lahir sekolah-sekolah yang tidak berkualitas. Yang kahir bukannya sekolah dengan anak-anak yang unggul, tetapi anak-anak tunggul. 

Untuk membuat sekolah atau lembaga pendidikan itu berkualitas, maka kunci keberhasilannya adalah pada minat baca, daya, baca dan budaya baca. semakin tinggi minat baca, maka semakin tinggi kemampuan atau daya baca,  semakin tinggi daya baca, maka semakin tinggi budaya baca dan semakin berkualitas sumber daya manusia kita.  Oleh sebab itu, bila ingin menjadi bagian dari Negara bangsa yang maju dan beradab, maka  membaca adalah sebuah keharusan atau kewajiban. Kewajiban bagi kepentingan Negara dan bangsa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline