Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Jangan Santri, tetapi Kiai yang Jadi Cawapres Jokowi

Diperbarui: 12 Juli 2018   15:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

nasional.kompas.com

Belakangan banyak lembaga survei yang menilai bahwa cawapres Jokowi harus dari kalangan santri, padahal diantaranya, ada kiai yang juga masuk bursa cawapres Jokowi. Kenapa harus memilih santri jika masih ada kiai? Saya kira, santri akan lebih manut pada kiai sebagaimana dalam tradisi NU seperti kuatnya hubungan murid dan guru. 

Rasa-rasanya, isu agama nampaknya lebih mendominasi dalam soal bagaimana seorang kandidat presiden secara tepat memilih wakilnya. Sampai-sampai, santri dan kiai ikut berkontestasi secara politik demi menggaet kenikmatan kekuasaan. 

Melihat nama-nama santri dan kiai yang beredar dalam bursa cawapres, semakin menunjukkan politik tak bisa lepas dari isu agama, bahkan bisa jadi agama menentukan menang-kalah dalam kontestasi.

Nama-nama figur kiai yang mulai muncul ke permukaan memperebutkan nominasi cawapres Jokowi diantaranya KH Ma'ruf Amin, KH Dien Syamsuddin, dan TGB Zainul Majdi. Yang disebut terakhir adalah gelar keulamaan yang khas di Lombok, NTB sama halnya kiai atau Gus dalam tradisi Jawa. Ketiga kiai ini nampak saling berebut pengaruh agar mau dilirik Jokowi mendampinginya nanti di Pilpres 2019 mendatang. 

Di sisi lain, terdapat beberapa figur santri yang mungkin tepat menjadi pendamping Jokowi, seperi Muhaimin Islandar (Cak Imin), M Romahurmuziy (Romi), atau Mahfud MD. Walaupun terdapat nama-nama lain dari kalangan parpol atau birokrat, kalangan kiai atau santri nampak lebih prospektif dalam meraup suara kalangan muslim yang memang dominan.

Saya justru menyayangkan, jika para kiai atau santri malah berebut kekuasaan, karena dipastikan dalam gelanggang politik tak dikenal istilah kiai-santri, yang ada hanya rivalitas secara kompetitif. 

Namun demikian, wajar dalam suatu iklim kontestasi, siapa yang tak mau jabatan? Privilage politik atau berbagai kemudahan dalam segala akses dalam kekuasaan? Kiai-pun bisa bersaing dengan santrinya sendiri dalam hal kekuasaan, bahkan tak lagi mengenal budaya pesantren yang luhur saling menjaga dan menutupi kekurangan pribadi masing-masing. Dalam politik, bisa saja semua borok dibongkar demi kemenangan salah satu pihak.

 Tapi, itulah politik yang dalam banyak hal sanggup memporak-porandakan budaya adiluhung yang dibangun dalam tradisi kepesantrenan.

Okelah, jika ada kiai yang dianggap layak dan pas mendampingi Jokowi, rasa-rasanya kiai yang birokrat seperti TGB Zainul Majdi nampaknya banyak memiliki kelebihan dibanding kiai lainnya. Pengalamannya dalam lingkungan birokrasi pemerintahan telah dibuktikannya selama menjadi gubernur di NTB dengan capaian keberhasilan yang memuaskan. 

Kiai satu ini memiliki keluasan ilmu agama yang cukup, melihat dari gelar TGB yang disematkan masyarakat. Dua kiai lainnya, saya harap tetap menjadi panutan umat, menjadi guru bangsa yang seharusnya mulai menjauh dari gangguan politik yang profan. Walaupun tak ada larangan juga jika mereka memaksakan diri ikut berkompetisi secara internal.

Lalu, kenapa harus kiai yang dipilih? Banyak alasan yang mengharuskan kiai berpolitik di era milenial saat ini. Pertama, kiai kedudukannya lebih tinggi dari santri, sehingga seluruh pemilih dari kalangan santri cenderung manut pada titah sang kiai. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline