Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Jangan Santri, tetapi Kiai yang Jadi Cawapres Jokowi

12 Juli 2018   09:58 Diperbarui: 12 Juli 2018   15:19 2432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nasional.kompas.com

Kedua, tidak semua kiai memiliki pengalaman politik, sehingga memilih kiai yang berwawasan keagamaan yang luas saja tidak cukup, karena pengalaman politik --terutama dalam birokrasi pemerintahan---akan lebih menjaga kiai dari kesalahan atau ketidakpahaman soal aturan-aturan dan undang-undang terkait dengan berbagai kebijakan. Ketiga, kiai akan cenderung lebih asketik, tak akan ngoyo dengan hal-hal duniawi yang materialistik.

Ketika banyak lembaga survei yang mengajukan figur santri yang pas menjadi pendamping Jokowi, saya rasa justru kurang pas. Mengingat, santri masih tampak ambisius dalam hal-hal politik yang profan, senang dan bangga dengan jabatan, dan mungkin akan mendepak santri-santri lainnya yang mencoba menghalangi langkah politiknya. 

Hal ini tampak, ketika figur dua orang santri NU---Cak Imin dan Romi---yang berebut pengaruh bagaimana agar keduanya dilirik Jokowi. Cak Imin bahkan sudah sedari awal mendeklarasikan dirinya sebagai cawapres Jokowi, menutup celah santri lainnya untuk berlaga di ajang kontestasi Pilpres. 

Walaupun, Romi tampak lebih berani "menantang" Cak Imin, melihat dari berbagai manuvernya mendampingi Presiden Jokowi dalam banyak kegiatan kenegaraan.

Figur santri lainnya yang melekat dalam diri Mahfud MD, nampaknya masih sulit bersaing. Nama santri satu ini cukup dikenal di era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) karena pernah menjadi salah satu menteri di kabinetnya. 

Belakangan namanya semakin berkibar ditengah arus politisasi agama setelah Mahfud banyak diundang dalam berbagai acara televisi nasional. Sikapnya yang moderat dalam menengahi berbagai isu-isu politisasi agama yang berkembang, dipandang cakap jika masuk dalam bursa cawapres Jokowi. 

Selain berpengalaman sebagai birokrat, Mahfud piawai dalam mengkritisi setiap aturan dan perundang-undangan yang berdampak luas terhadap kebijakan publik. Namun, mantan hakim MK ini mungkin saja terganjal oleh dua ketum parpol yang juga mewakili kalangan santri, Cak Imin dan Romi.

Belajar dari momen Pilkada serentak, figur dan ketokohan nampak paling berpeluang untuk dipilih masyarakat, bahkan terkadang latar belakang kepartaian seringkali terabaikan. Itulah kenapa, figur yang "agamis" tentu saja sangat menentukan dalam hal kontestasi. 

Pilkada serentak 2018 yang baru saja selesai, dapat menjadi tolok ukur bahkan batu loncatan setiap kandidat yang ingin berlaga di kontestasi nasional. Itulah kenapa, kekuatan figur tampak menonjol, lengkap dengan embel-embel "keagamaan" dibelakangnya, entah itu santri atau kiai. Fenomena keagamaan sepertinya mampu menjungkirbalikan rasionalitas politik para pemilih, tetapi ini mungkin hanya terjadi di Indonesia.

Asumsi saya, jika ada kiai yang cakap berpolitik dan memiliki pengetahuan luas dalam ilmu agama, sebaiknya tidak memilih santri yang hanya berpengalaman dalam bidang politik saja. 

Memilih kiai tentu saja memiliki keuntungan dari berbagai sisi, terutama yang dipandang sebagai kiai birokrat. Jadi, Jokowi juga pasti memahami, siapa yang paling layak mendampinginya di Pilpres nanti. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun