Sudah saatnya kita bicara jujur soal TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri). Selama bertahun-tahun, regulasi ini menjadi tameng nasionalisme ekonomi, simbol keberpihakan terhadap produk lokal. Tapi sekarang, di era di mana kecepatan, efisiensi, dan integrasi global menjadi penentu keberhasilan, kita harus bertanya: apakah TKDN dalam bentuknya yang kaku masih relevan?
Presiden Prabowo Subianto tampaknya menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan berani. Instruksi beliau untuk membuat regulasi TKDN lebih fleksibel dan realistis bukan hanya langkah strategis, tapi juga sinyal bahwa Indonesia siap bermain di panggung global tanpa membebani pelaku industri dengan idealisme kosong.
TKDN: Dari Simbol ke Beban
Pada dasarnya, TKDN bertujuan mulia: mendorong pertumbuhan industri lokal, membuka lapangan kerja, dan memperkuat kemandirian ekonomi. Namun dalam praktiknya, regulasi ini sering justru menjadi batu sandungan. Banyak perusahaan harus menggunakan komponen lokal yang lebih mahal dan berkualitas lebih rendah hanya demi mengejar angka TKDN tertentu, tanpa mempertimbangkan efisiensi produksi dan daya saing pasar.
Coba bayangkan sebuah perusahaan teknologi lokal yang ingin memproduksi laptop untuk pasar dalam negeri. Di bawah aturan TKDN ketat, mereka harus memastikan 40% komponen berasal dari dalam negeri. Masalahnya, komponen utama seperti prosesor, layar, atau baterai masih harus diimpor karena Indonesia belum memiliki kapasitas produksi.
Simulasi 1: TKDN Ketat Tanpa Insentif
Komponen Lokal: Rp 50.000
Komponen Impor: Rp 80.000
Tenaga Kerja & Overhead: Rp 40.000
Total Biaya Produksi: Rp 170.000
TKDN: (170.000 - 80.000) / 170.000 x 100% = 52.94%