Lihat ke Halaman Asli

Syahida Kodra Tullah

Saya seorang mahasiswa dari Universitas Pendidikan Indonesia jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia

Generasi Muda Tak Peduli Politik: Isyarat Bahaya Bagi Demokrasi Kita!

Diperbarui: 27 September 2025   20:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto anak muda yang dianggap apatisme. Sumber: Mediasi.Co

Oleh. Syahida Kodra Tullah

 

"Anak muda sekarang tidak peduli politik."

"Kalian sebagai anak muda yang harus memilih, jadi penonton jarak dekat, atau hanya menjadi penonton jarak jauh."

 

            Beberapa waktu ini, baik hari, bulan, maupun hanya menit, kedua kalimat tersebut sering terdengar, baik dari pengamat, dosen, mahasiswa, bahkan media. Generasi Z dan sebagian milenial kerap dicap "apatis," sibuk dengan dunia digital, hanya peduli healing, hiburan, tetapi tidak mau berurusan sama sekali dengan politik. Namun, benarkah demikian? Ataukah sebenarnya apatisme anak muda tersebut adalah cermin dari sistem politik yang gagal memberi mereka alasan untuk percaya? Atau juga sistem politik yang tidak peduli terhadap mereka?

            Fenomena apatisme ini bukanlah sekadar gosip belaka. Pada Pemilu 2019, data KPU menunjukkan angka partisipasi pemilih memang meningkat beberapa, tetapi di kalangan anak muda ada kecenderungan memilih golput, bahkan tidak datang sama sekali ke tempat pemilihan, baik karena kesadaran politik yang kritis maupun karena ketidakpercayaan lagi terhadap kandidat yang ada. Menariknya lagi, meski disebut apatis, anak muda kini justru aktif dalam berbagai isu sosial seperti lingkungan, hak digital, keadilan gender, hingga kampanye kemanusiaan. Ini menunjukkan bahwa "apatisme politik formal" tidak sama dengan "ketidakpedulian sosial." Yang menjadi pertanyaan penting adalah "Apakah kita adil jika hanya menyalahkan anak muda, sementara sistem politik ini sendiri sering tidak ramah terhadap mereka?

            Pemberian cap "apatis" sebenarnya terlalu menyederhanakan realitas. Generasi muda tidak benar-benar acuh tak acuh terhadap kehidupan politik sekarang. Mereka peduli pada isu-isu yang dekat dengan keseharian seperti demo, krisis iklim, kesehatan mental, akses pendidikan, lapangan kerja, hingga kebebasan mereka berekspresi di dunia digital. Namun, ketika isu-isu tersebut tidak mendapat kesempatan ruang dalam agenda politik formal, anak muda sebagian hanya merasa percuma untuk ikut serta. Mereka hanya menjadi penonton saja. Politik dianggap terlalu elitis, dipenuhi jargon yang jauh dari realitas. Maka, tidak heran jika mereka lebih memilih menyalurkan energi lewat petisi online, kampanye digital, gerakan komunitas, bahkan melalui tulisan-tulisan sastra, ketimbang masuk ke dunia politik yang dianggap "toxic". Seorang peneliti muda bernama Ariel Heryanto, pernah mengatakan bahwa "Apatisme politik yang terjadi di kalangan anak muda bukan tanda mereka pasif, melainkan tanda mereka ingin mencari jalur lain yang lebih otentik untuk menyuarakan kepedulian terhadap negara yang sedang seperti ini."

            Lantas, salah satu alasan kuat di balik adanya jarak anak muda dengan politik adalah wajah politik formal yang penuh elitisme dan kaku. Partai politik di Indonesia ini masih didominasi oleh generasi lama. Regenerasi politik menjadi lambat, kandidat muda sering hanya dijadikan vote-getter atau "pemanis," bukan benar-benar diberikan ruang untuk menentukan arah kebijakan. Banyak anak muda yang mengeluhkan bahwa bahasa politik formal sulit untuk dipahami. Diskusi politik di televisi misalnya, penuh istilah undang-undang, hukum, dan perdebatan teknis yang terasa jauh dari kehidupan sehari-hari. Bandingkan dengan kampanye isu sosial di instagram atau tiktok yang sangat sederhana, visual, dan langsung menyentuh ke arah persoalan anak muda. Akibatnya, politik formal ini gagal membangun koneksi emosional dengan generasi baru. Politik terasa asing, palsu, dingin, dan bukan ruang mereka.

            Selanjutnya, apatisme anak muda juga lahir dari rasa frustasi mereka terhadap sistem politik yang dianggap gagal memberi teladan. Korupsi yang masih merajalela, oligarki politik-ekonomi semakin kuat, praktik politik uang terbuka lebar, dan janji kampanye sering hanya menjadi slogan kosong belaka tanpa adanya aksi nyata. Dalam situasi seperti itu, wajar sekali jika anak muda skeptis. Mereka tidak ingin menjadi bagian dari sistem politik yang kotor di negara ini. Mereka memilih mundur, menjaga jarak, atau hanya menjadi penonton dari jarak jauh. Bahkan dalam percakapan sehari-hari, istilah seperti "toxic politics" atau "drama politik" sudah lazim mereka pakai. Ini menunjukkan persepsi publik, terutama generasi muda, bahwa politik di negara ini bukan ruang aspirasi rakyat, melainkan arena perebutan kuasa antar-elit.

            Penting untuk digarisbawahi bahwa meski jauh dari politik formal, anak muda tidak sepenuhnya apatis terhadap negara. Mereka aktif mengorganisir diri dalam gerakan-gerakan sosial. Misalnya kampanye di lingkungan kampus, sosial yang dipimpin oleh generasi muda, gerakan climate strike di berbagai kota, gerakan digital melawan pelecehan seksual, hingga aksi solidaritas kemanusian dan penuntutan hak rakyat. Anak muda juga aktif dalam ranah digital activism: membuat thread edukasi di Twitter, tiktok, instagram, menggalang dana daring untuk bencana, hingga mengkritisi kebijakan publik lewat konten kreatif. Semua hal ini membuktikan bahwa mereka tidak acuh, hanya saja saluran yang mereka pilih berbeda. Dengan kata lain, apatisme mereka terhadap politik formal justru bisa dibaca sebagai kritik diam-diam terhadap sistem yang ada. Mereka sedang berkata: "Kami peduli, tapi kami tidak percaya dengan cara lama."

            Daripada menyalahkan anak muda, lebih bijak jika kita sebagai pemerintah atau siapapun itu untuk bertanya "Apa yang salah dengan sistem kita?" Hal tersebut dapat dilakukan dengan beberapa langkah penting yang perlu dipikirkan:

  • Pendidikan Politik Sejak Dini= Pendidikan kewarganegaraan yang diajarkan saat sekolah dasar jangan hanya dijadikan formalitas hafalan belaka, tapi harus membangun kesadaran kritis siswa. Anak muda perlu belajar bahwa politik bukan hanya sekadar soal pemilu, melainkan ruang untuk memperjuangkan kepentingan bersama.
  • Mengubah Cara Komunikasi Politik= Politik sangat perlu untuk lebih membumi. Gunakan bahasa yang komunikatif, sederhana, dan relevan dengan kebutuhan anak muda. Tidak semuanya harus serius, politik bisa disampaikan juga dengan cara yang kreatif mengikuti perkembangan zaman.
  • Menciptakan Politik yang Inklusif= Partai politik harus memberi ruang nyata bagi anak muda yang mempunyai kemampuan, bukan hanya memajang wajah mereka di baliho. Anak muda harus bisa ikut menentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, bukan hanya sekadar simbol kampanye.
  • Anak Muda Juga Harus Berani= Di sisi lain anak muda tidak bisa selamanya berada di luar sistem yang buruk di negara. Jika ingin adanya perubahan nyata, mereka juga harus berani masuk, terlibat, dan mengubah dari dalam meskipun harus diam-diam masuk ke dalam sistem yang dirusakkan tersebut.
  • Perbaikan Sistem dan Teladan Moral= Tidak ada yang lebih cepat dalam mematikan semangat anak muda selain melihat politisi korupsi tanpa konsekuensi dan tak di hukum mati. Jika sistem ingin mendapatkan kembali kepercayaan anak muda, maka bersihkan rumahnya terlebih dahulu.

Oleh karena itu, menyalahkan anak muda "apatis" hanyalah cara mudah untuk menutupi kegagalan sistem politik dalam membangun kepercayaan mereka. Generasi muda juga sebenarnya sangat peduli, tapi mereka menunggu alasan kuat untuk percaya bahwa sistem politik bisa benar-benar membawa perubahan bagi negara. Jika sistem tetap elitis, tertutup, dan korup, jangan heran bila anak muda memilih menjauh. Namun, jika politik mampu membuka diri, memberi ruang partisipasi yang nyata, dan menunjukkan teladan moral, anak muda pasti akan datang dan tidak membuat jarak. Karena pada akhirnya, apatisme bukan tanda ketidakpedulian, melainkan tanda bahwa sistem politik kita tersebut butuh diperbaiki. Anak muda selalu berada di balik kalimat "Kabur aja dulu" untuk menyadarkan pemerintah akan sistem politik ini.

"Anak muda bukan apatis. Mereka hanya sedang menunggu alasan untuk percaya."

"Generasi Muda Tak Peduli Politik? Mungkin Politik yang Tak Peduli pada Mereka."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline