Berbicara mengenai konsep berkelanjutan berarti terkait dengan tiga aspek yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial. Salim (1986) mengungkapkan bahwa konsep berkelanjutan adalah mengelola sumberdaya alam serasional mungkin untuk kesejahteraan manusia. Kesejahteraan manusia disini bukan hanya menyangkut kesejahteraan material, tetapi mencakup kesejahteraan non fisik seperti mutu kualitas lingkungan hidup yang layak hidup (liveable environment) dan jaminan terpeliharanya kesejahteraan tersebut bagi generasi masa depan. Sedangkan Soewarwotto (1989) mengungkapkan konsep berkelanjutan adalah kemampuan atau usaha menjaga lingkungan untuk mendukung pembangunan jangka panjang yang mencakup jangka waktu antar-generasi yang berwawasan lingkungan dengan menggunakan sumberdaya secara bijaksana.
Konsep berkelanjutan bukan hanya diterapkan dalam pengelolaan sumberdaya secara langsung seperti pada sektor perminyakan, tambang, maupun pengelolaan sumberdaya hayati lainnya tapi bisa dan harus diterapkan juga pada sektor pariwisata melalui konsep Pariwisata Berkelanjutan atau Sustainable Tourism. Susilawati (2016) menjelaskan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pembangunan pariwisata ramah lingkungan yang disesuaikan dengan keunikan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; adanya siklus sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan; dan adanya proses ekonomi yang memberikan keuntungan secara berkelanjutan. Lebih lanjut, pariwisata berkelanjutan dapat merupakan sumber untuk membiayai upaya perlindungan sumberdaya lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi sumberdaya/ lingkungan, sekaligus pemberdayaannya dalam bidang sosial dan budaya masyarakat yang ada disekitarnya.
Sektor pariwisata memanfaatkan nilai jasa sumberdaya alam dan lingkungan secara langsung. Peran sumberdaya alam dan lingkungan dalam sektor pariwisata termasuk peran sebagai sumber langsung amenity (kesenangan) dan perbaikan kualitas hidup manusia (Fauzi, 2014). Sumberdaya alam dan lingkungan pada sektor pariwisata termasuk sumberdaya milik bersama dan berhak diaskes oleh siapa saja. Karena akses yang terbuka atau milik bersama inilah, maka pemanfaatan sumberdaya lingkungan pada sektor wisata ini rentan terhadap kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan sehingga konsep pariwisata berkelanjutan mutlak harus dilakukan untuk mencegah degredasi lingkungan.
Fauzi (2014) menjelaskan bahwa salah satu penyebab dari terjadinya degradasi lingkungan adalah karena masalah undervalue terhadap nilai yang sebenarnya dihasilkan dari sumberdaya alam dan lingkungan. Undervalue tersebut menunjukan kurangnya informasi terhadap nilai sumberdaya alam dan lingkungan sehingga memunculkan kegagalan pasar. Kegagalan pasar disini maksudnya munculnya eksternalitas karena kepemilikan sumberdaya alam dan lingkungan tidak terdefinisi dengan jelas. Oleh karenanya kurangnya infomasi tentang nilai sumberdaya alam lingkungan, konsumsi berlebihan dan eksternalitas akan memunculkan degredasi lingkungan. Contoh kasus yang terjadi di pariwisata laut di Kepulauan Seribu.
Kepulauan Seribu yang letaknya paling dekat dengan ibukota negara Indonesia, memberikan jasa rekreasi sumberdaya alam bagi warga sekitar DKI Jakarta khususnya yang ingin menikmati wisata laut kepulauan tanpa terlalu jauh berpegian. Namun, meningkatnya jumlah wisatawan setiap tahunnya, menyebabkan beberapa pulau mengalami over capacity bahkan merusak sumberdaya alam yang ada. Santoso (2010) mengungkapkan misalnya adanya kerusakan terumbu karang di Kepulauan Seribu yang menyebabkan penutupan terumbu karang tergolong rendah-sedang yakni 27,41%. Salah satu penyebab rusaknya terumbu karang ini adalah karena aktivitas wisata pantai. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2010, bayangkan di tahun 2020 berapa persen lagi terumbu karang yang masih bertahan di Kepulauan Seribu.
Mira et al., (2019) menyatakan pengunjung pada hari libur di Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu adalah antara 100-200 orang, sedangkan daya dukung lingkungan wilayah hanya 50 orang untuk kelas ekonomi, 40 orang untuk kelas menengah, 30 orang untuk kelas mewah, dan 20 orang untuk kelas khusus yang berarti adanya over capacity sebanyak 60 orang. Apabila dibiarkan terus, lama kelamaan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan tersebut, berapa hektar lahan yang akan dialih fungsikan untuk dibangun penginapan; berapa m3 lagi air yang harus diambil untuk menyediakan kebutuhan wisatawan tersebut; dan berapa berapa persen lagi sisa penutupan terumbu karang yang harus ditergusur karena adanya kegiatan wisata akibat peningkatan jumlah penunjung. Oleh karenanya, untuk mencegah hal tersebut maka diperlukan lah valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan yang berperan dalam penentuan keputusan/kebijakan, contohnya dalam penerapan pariwisata berkelanjutan di Kepulauan Seribu.
Beberapa contoh penelitian terkait analisis valuasi ekonomi di Kepulauan Seribu adalah sebagai berikut: Triyono (2013) melakukan Penilaian Ekonomi Dan Daya Dukung Wisata Bahari Di Pulau Pari Kepulauan Seribu Provinsi Dki Jakarta untuk menilai dampak pariwisata bahari/laut terhadap masyarakat di Pulau Pari dengan mengukur daya dukung fisik. Hasil penelitian dengan menggunakan metode Travel Cost Method (TCM) dan Daya dukung kawasan (DDK) menunjukan jumlah maksimum pengunjung yang dapat diakomodir tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas adalah 1.287 orang/hari untuk wisata selam, 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, 504 orang/hari untuk wisata mangrove, dan 2.572 orang/hari untuk wisata pantai.
Sedangkan nilai ekonomi total dari keberadaan gugusan Pulau Pari sebagai objek wisata bahari adalah sebesar Rp12.365.824.221,25 per tahun atau Rp192.314.529,10 per hektar per tahun. Pemanfaatan maksimal sesuai dengan nilai daya dukung fisik akan memberikan nilai ekonomi total sebesar Rp171.686.370.336,- dalam setahun atau Rp2.670.083.520,- per hektar per tahun (Triyono, 2013). Dapat disimpulkan bahwa nilai ekonomi jika memanfaatkan daya dukung fisik pulau akan jauh lebih tinggi karena menyesuaikan dengan kapasitas alam dan lingkungan.
Lain hal dengan (Hidayati et al., 2018) melakukan analisis pengembangan penilian jasa ekostistem di Pulau Pari Kepulauan Seribu, dengan metode Payment For Environmental Services (PES). Penilaian PES termasuk salah satu metode valuasi ekonomi yang berguna untuk menilai penurunan kualitas jasa lingkungan dari ekosistem yang tidak mempunyai nilai pasar/ ekonomi padahal funding untuk meningkatkan kualitas jasa lingkungan tersebut sangat dibutuhkan. Penelitian menggunakan metode Contingent Valuation Method (CVM) dengan penerapan Willingness To Pay (WTP).
Peningkatan jumlah wisatawan menurunkan kualitas ekosistem laut di Pulau Pari seperti kerusakan hutan bakau, pantai, terumbu karang dan lamun. Dana yang besar sangat diperlukan untuk melakukan perbaikan jasa ekosistem ini. Hasil analisis menunjukan total WTP lebih tinggi daripada anggaran operasional untuk perbaikan. Hal ini menunjukan bahwa PES skema PES dapat digunakan sebagai cara alternatif untuk menutupi biaya operasional. Skema PES yang dapat diterapkan di Pulau Pari adalah antara forum lokal sebagai penyedia jasa ekosistem dan wisatawan Pulau Pari sebagai pengguna (Hidayati et al., 2018).
Berbagai uraian mengenai valuasi ekonomi diatas harusnya dapat dijadikan contoh acuan penerapan pariwisata berkelanjutan khususnya di Pulau Seribu oleh para pengambil keputusan sehingga masalah over capacity wisatawan, kerusakan terumbu karang, atau penurunan kualitas lingkungan ekosistem laut di Pulau Seribu dapat diselesaikan dengan berpatokan pada hasil valuasi tersebut. Namun sayangnya, kajian valuasi ekonomi ini di Indonesia masih di underestimate dilihat dari belum banyak hasil kajian yang diterapkan untuk pengambilan keputusan atau kebijakan.