Lihat ke Halaman Asli

SutrisnoPenadebu

Kepala unit

Rindu yang Harus Ditahan

Diperbarui: 18 September 2025   06:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rindu yang Harus Ditahan

Beberapa hari terakhir, hati Martin dilanda gundah gulana. Setiap pagi, tatapannya selalu kosong menembus jendela kamarnya yang berkabut embun. Ia menggenggam ponsel erat-erat, menatap layar yang menampilkan nama Andin---nama yang dulu selalu membuat dadanya bergetar bahagia.
Sudah berulang kali ia mencoba menghubunginya. Pesan-pesan dikirimkan, panggilan masuk ditunggu dengan harap. Tetapi tak satu pun dibalas, tak satu pun diangkat.
Sunyi.

"Apakah cintanya hanya semu?" gumam Martin lirih, nyaris tak terdengar oleh dirinya sendiri. "Atau... mungkin ia hanya berusaha menepati sumpah itu?"

Sumpah yang mereka buat bersama, tepat sehari setelah pernikahan Andin dengan lelaki pilihannya---bukan Martin. Sumpah yang begitu berat, namun diucapkan dengan mata yang basah dan suara bergetar: "Untuk saling menjaga jarak... agar cinta yang pernah ada bisa mati dengan terhormat."

Kala itu Martin mengangguk, mencoba tersenyum. Ia mengira waktu akan menenangkan luka, bahwa rasa cinta perlahan akan larut bersama hari-hari yang bergulir. Tetapi ia salah. Rindu justru tumbuh diam-diam seperti jamur di tanah yang lembap---semakin ditekan, semakin menyebar.

Dan sekarang, rindu itu seperti badai yang menghantam dadanya.

"Entahlah, Andin..." bisik Martin sambil menutup mata. "Apakah kau baik-baik saja di sana? Ataukah cintamu telah berubah setelah dilanda perjanjian itu?"

Ingatan tentang senyum Andin hadir begitu jelas: tatap mata yang hangat, tangan yang dahulu gemetar saat menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Semua itu kini hanya kenangan yang dilarang disentuh.

Martin menegakkan tubuhnya. Ia tahu, ada satu hal yang harus ia lakukan: menahan diri.
Menahan kerinduan, menahan keinginan untuk melanggar janji yang mereka buat bersama, menahan setiap getar yang muncul hanya karena menyebut namanya dalam doa.

Rindu itu menyiksa, tetapi ia lebih takut menjadi alasan Andin tergelincir dalam penyesalan.

Maka malam itu, Martin menulis satu kalimat dalam buku hariannya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline