Lihat ke Halaman Asli

Upaya Mendongkrak Pendidikan Anak Perempuan

Diperbarui: 5 April 2021   15:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan (sumber: popbela.com)

Tahun ini kita kembali memasuki bulan April, bulan yang sering diidentikkan dengan upaya memajukan perempuan. Sudah ratusan tahun silam saat RA Kartini, puteri seorang Bupati yang tidak merasa puas dengan kenyamanan dirinya sendiri, karena Kartini melihat disekelilingnya para anak perempuan selalu tidak diperbolehkan memperoleh pendidikan tinggi dan harus kawin muda.

Sekarang zaman sudah berubah, pendidikan untuk anak perempuan sudah terbuka. Bahkan Indonesia pernah memiliki Presiden perempuan, kini memiliki beberapa Menteri perempuan dan sudah banyak memiliki Profesor, Doktor, Astronot dan dosen perempuan. Sekarangpun sudah banyak perempuan yang memimpin di tampuk teratas perusahaan baik BUMN maupun swasta nasional.

Ironisnya, keadaan sebaliknya masih memprihatinkan. Mengacu pada sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendayagunaan Perempuan dan Perlindungan Anak, disebutkan bahwa pendidikan untuk anak perempuan menurut data masih sangat rendah. 

Data di seluruh Indonesia menunjukkan pendidikan tertinggi yang diperoleh anak perempuan hanya masih di aras sekolah menengah pertama. Hal ini disebabkan faktor ekonomi, faktor sosial dalam masyarakat yang masih mengunggulkan sistem patrilineal dimana pendidikan untuk anak laki-laki masih lebih diutamakan ketimbang anak perempuan. 

Alasannya masih klasik, anak perempuan tidak perlu menempuh pendidikan terlalu tinggi karena nanti bakalan susah menikah, karena jarang laki-laki yang berani meminang perempuan yang lebih pandai dari dirinya. Juga adanya stigma dalam masyarakat bahwa setinggi-tingginya pendidikan anak perempuan toh akhirnya akan berakhir di dapur juga.

Stigma ini baru dapat terhapus bila faktor ekonomi dalam keluarga sudah membaik. Dalam keluarga yang memiliki faktor ekonomi memadai sudah banyak anak perempuan yang mendapatkan pendidikan tinggi di dalam negeri maupun di luar negeri. Apalagi bagi anak perempuan yang memiliki kecerdasan diaras rata-rata, mereka dengan mudah mencari bea siswa untuk melanjutkan pendidikannya ke aras yang lebih tinggi.

Lalu bagaimana nasib keluarga dengan faktor ekonomi pas-pasan? Bagi anak perempuan yang beruntung, meski orang tuanya hanya buruh kecil atau asisten rumah tangga di kota besar, bila bossnya baik masih memungkinkan anak perempuannya melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tinggi asalkan masih mampu mengikuti pendidikan tinggi hingga lulus. Banyak anak perempuan dengan orang tua golongan pekerja rendah masih sanggup menikmati pendidikan tinggi hingga lulus sarjana.

Yang nasibnya kurang beruntung adalah anak perempuan yang tinggal di kota kecil atau pedesaan. Gara-gara faktor ekonomi, memang banyak yang hanya tamat Sekolah Dasar saja, bisa lulus Sekolah Menengah Pertama saja sudah sangat beruntung, apalagi sampai lulus Sekolah Menengah Umum / Kejuruan boleh dikatakan bonus. 

Ironisnya lagi, sekolah menengah belum tamat, seringkali anak perempuan sudah dipinang dan faktor sosial yang mengharuskan anak perempuan kawin muda selalu menjadi unsur pemicunya. Masih untung sekarng sudah ada pembatasan usia kawin bagi anak perempuan minimal 16-17 tahun, dibandingkan saat era Kartini, anak perempuan usia 13 tahun banyak yang sudah dipinang atau dijodohkan.

Guna dapat meningkatkan aras pendidikan anak perempuan mutlak diperlukan perbaikan faktor sosial dan ekonomi. Dengan membaiknya faktor sosial dan ekonomi, peluang anak perempuan untuk menyelesaikan pendidikan menengah atas (umum/kejuruan) lebih memungkinkan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline