Lihat ke Halaman Asli

Sultani

TERVERIFIKASI

Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Mengapa Pejabat Publik Selalu Gagal Menjaga Lidah?

Diperbarui: 5 September 2025   07:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Anggota DPR Ahmad Sahroni pernah mengatakan masyarakat yang menuntut bubarkan DPR adalah manusia paling tolol (Sumber: Kompas.com/Rahel)

Ucapan pejabat bukan sekadar kalimat, melainkan representasi kuasa. Di Indonesia, representasi itu terlalu sering berubah menjadi bentuk arogansi verbal. Alih-alih menjadi penawar, setiap kata para pejabat malah terasa seperti garam yang ditabur ke luka rakyat.

Ini membuktikan bahwa lidah pejabat sering lebih cepat berlari daripada akalnya. Lidah pejabat kita juga tampaknya lebih lincah daripada kerja kebijakannya. Rakyatlah yang memikul beban perasaan sementara para pejabat tidak pernah mau belajar bahwa bicara di ruang publik itu butuh otak, bukan sekadar mulut.

Para pejabat kita pasti tahu bahwa kata-kata bisa jadi obat sekaligus luka bagi rakyat. Sayangnya, terlalu sering kita menyaksikan buruknya public speaking pejabat sehingga mereka seolah selalu terjebak pada peran yang kedua: melukai rakyat. Pernyataan mereka yang seharusnya menenangkan justru menambah jarak dengan rakyat, membuat kepercayaan publik terus terkikis. Mungkin sudah saatnya kita bertanya: apakah kesalahan komunikasi ini hanya "kekhilafan", atau justru cerminan dari cara pandang mereka terhadap rakyat yang dipimpinnya?

Dalam teori komunikasi publik, setiap pernyataan pejabat adalah performa simbolik yang merepresentasikan relasi kuasa antara pemerintah dan masyarakat. Namun di Indonesia, ucapan-ucapan kontroversial justru menunjukkan lemahnya sensitivitas dan miskinnya literasi komunikasi para pejabat. 

Alih-alih membangun legitimasi, yang tercipta adalah resistensi publik. Fenomena ini menegaskan bahwa krisis public speaking pejabat bukan lagi persoalan teknis, melainkan struktural: ketidakmampuan pejabat memahami posisi audiens yang mereka layani.

Kata yang Menjadi Luka 

Pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar di UIN Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan (3 September 2025), mendadak menjadi viral. Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan bahwa seorang guru "harus suci di langit, suci di bumi. Kalau enggak sanggup, lebih baik serahkan mandatnya." 

Kalimat ini, meskipun mungkin dimaksudkan sebagai motivasi moral, justru ditafsirkan publik sebagai bentuk merendahkan profesi guru yang setiap hari harus berjibaku dengan beban kerja dan keterbatasan fasilitas. Ucapan tersebut pun menuai kritik keras, terutama dari kalangan pendidik dan netizen yang merasa diksi "suci" tidak relevan dengan realitas profesi.

Dalam hitungan jam, potongan video pidato itu menyebar luas di media sosial. Frasa "guru harus suci" dijadikan meme, bahan kritik, hingga ajang protes terbuka. Bagi banyak orang, ucapan pejabat yang mestinya membela kepentingan tenaga pendidik justru terasa menghakimi. Momentum yang seharusnya bisa digunakan untuk memperkuat narasi peningkatan kualitas pendidikan berubah menjadi polemik soal etika komunikasi. Fenomena ini menunjukkan bagaimana satu kalimat yang kurang sensitif bisa menggeser fokus wacana publik.

Nasaruddin Umar kemudian menyampaikan permintaan maaf dan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa maksud sebenarnya adalah mengingatkan pentingnya integritas guru sebagai teladan bagi murid. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline