Lihat ke Halaman Asli

Sultani

TERVERIFIKASI

Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

80 Tahun Merdeka dengan Warisan Reformasi dan Demokrasi yang Terluka

Diperbarui: 9 Agustus 2025   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi kampanye Pemilu 1999, pemilu pertama era Reformasi (Sumber: Kompas id)

Dua puluh tujuh tahun telah berlalu sejak reformasi 1998 mengguncang fondasi politik Indonesia. Tuntutan yang kala itu lantang untuk mengakhiri Orde Baru, menegakkan supremasi hukum, dan membuka ruang kebebasan akhirnya berhasil menggiring bangsa ini menuju babak baru yang penuh harapan. Jalan menuju demokrasi pun terbentang lebar, dan rakyat percaya bahwa suara mereka kini memiliki daya menentukan arah negara. Pemilihan umum langsung, kebebasan pers, dan desentralisasi menjadi simbol bahwa Indonesia akhirnya menghirup napas baru. 

Namun seiring waktu, sejarah menunjukkan bahwa reformasi yang diperjuangkan tersebut justru rentan terhadap pengkhianatan. Di balik optimisme reformasi, sistem demokrasi yang diraih bukanlah hadiah yang sekali didapat lalu abadi. Demokrasi justru menjadi proses yang rapuh, yang memerlukan penjagaan terus-menerus.


Kerapuhan ini menunjukkan bahwa reformasi mengalami erosi. Fenomenanya terlihat pada implementasi demokrasi sebagai rutinitas politik yang sering kali hampa dari substansi. Euforia pemilu lima tahunan hanyalah ajang pesta prosedural yang diwarnai janji-janji kosong. Di banyak daerah, pemimpin yang terpilih tidak menjalankan mandat rakyat, melainkan terjebak dalam pusaran kepentingan elite. Narasi “rakyat berdaulat” tinggal slogan dalam pidato resmi, sementara realitas politik justru memperlihatkan dominasi kelompok tertentu yang semakin kentara.

Baca juga:

Proklamasi 4.0: Merdeka Digital bagi "Digital Native"-Gen Z

Generasi yang lahir pasca-reformasi tumbuh dalam suasana politik yang bentuk formalnya demokratis, tetapi secara substantif penuh kompromi dengan kepentingan pragmatis. Partai politik yang diharapkan menjadi kendaraan aspirasi publik justru berubah menjadi alat transaksi kekuasaan. Para politisi lebih sibuk menjaga koalisi dan mengamankan posisi dibanding mengadvokasi kepentingan rakyat. Dalam kondisi ini, warisan reformasi tidak berkembang menjadi demokrasi yang matang, melainkan stagnan dalam siklus perebutan kekuasaan yang berulang.

Tantangan besar pasca-reformasi adalah menjaga agar demokrasi tidak sekadar menjadi alat legitimasi formal, tetapi menjadi sistem yang memberi ruang partisipasi luas dan perlindungan hak asasi secara sungguh-sungguh. Ironisnya, banyak kebijakan dan manuver politik justru membatasi ruang ini. Peraturan yang membatasi kebebasan berserikat, pembungkaman kritik melalui pasal-pasal karet, hingga kriminalisasi aktivis menjadi tanda bahwa demokrasi kita sedang diserang dari dalam. Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini seperti tanaman yang dibiarkan layu tanpa perawatan.

Ilustrasi demonstrasi mahasiswa ketika menduduki gedung DPR/MPR tahun 1998 (Sumber: Kompas.com)

Perjalanan demokrasi pasca-1998 mengingatkan kita bahwa revolusi politik tidak menjamin revolusi kultural dan struktural. Reformasi memang memotong kepala rezim otoritarian, tetapi tubuh dan jaringannya tetap bertahan dalam wajah baru. Kita seolah merdeka secara prosedural, tetapi belum berdaulat sepenuhnya sebagai warga. Luka-luka reformasi ini harus diakui, agar bangsa tidak terjebak dalam romantisme masa lalu yang membutakan pandangan terhadap kemunduran yang sedang terjadi

Indeks Kebebasan Sipil dan Pers yang Menurun

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline