Lihat ke Halaman Asli

Subarkah

Freelance

Menjaga Nyala Sunyi Saat Cintamu Tak Berbalas

Diperbarui: 30 Juni 2025   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Marek Studzinski on Unsplash 

Cinta sepihak dan patah hati membuat kita bertanya: apakah cinta tanpa balasan layak dipertahankan? Baca refleksi  tentang cinta yang tak pulang. 

Kamu duduk di dekat jendela, menatap hujan rintikrintik yang menjemput siang menuju sore. Suara tetesnya menari di atas atap, menyebar aroma tanah basah yang mengajakmu bernapas lebih dalam. Di pangkuanmu terbuka sebuah buku catatan. Halaman putih itu menunggu tanpa suara, seolah bersedia menampung setiap simpul batin yang belum terurai. Engkaulah yang akhirnya memulai, menulis perlahan seperti berbicara kepada sahabat lama yang selalu siap mendengar.

Masih teringat betapa sederhana pertemuan pertama itu. Sebuah halte sempit menahan dua pejalan yang letih menunggu bus. Saat ia melontarkan gurauan, kau tertawa lebih lama dari seharusnya. Sekilas adegan tersebut memang biasa, tetapi detik kecil itu menggeser arah langkahmu. Sejak hari itu bayangannya ikut menempel pada angin. Ia muncul di sela rutinitas, membuatmu merasa sedang berjalan pulang ke sebuah lorong yang hanya kamu yang tahu.

Karena rasa itu tumbuh tanpa abaaba, kau memilih mengabari lewat diam. Di dalam pesan singkat, kau sisipkan tanda baca yang terbuka agar ia dapat menebak kehangatan di balik kata. Sering kali isyaratmu terhenti di udara, namun kau tetap percaya. Barangkali inilah uniknya cinta yang berakar di ruang sunyi; ia teguh memelihara nyala meski penerimanya tidak memahami sumber cahaya.

Seiring waktu, pertanyaan pun lahir. Mengapa hatimu betah berteduh di tempat yang enggan memberi pulang? Logika sempat menawar, tetapi ingatan selalu menemukan celah. Pada malam tenang ketika lampu kota berpendar pucat, kau menyebut namanya dalam hati, kemudian mendengar gema yang tak pernah datang. Saat itu keberanian dan penyangkalan terasa serupa, samasama meninggalkan getar halus yang tak mudah dibungkam.

Namun cinta yang tumbuh di tempat sunyi memiliki hukum sendiri. Ia menyala dari percikan ringkas, kemudian kukuh menolak padam. Kau memeluk api itu, menjaganya agar hangat, meskipun cahaya yang dipancarkan hanya menenangkan dirimu seorang. Di balik ketekunan itu, ada kebanggaan kecil: bukti bahwa hati dapat menjadi rumah, bahkan tanpa penghuni lain di dalamnya.

Kendati demikian, kesunyian menyimpan gema yang melelahkan. Di momen tak terduga, fragmen kenangan menyelinap: aroma kopi pagi, cara ia menyipit menantang cahaya, gerakan halus menahan rambut dari hembus angin. Potonganpotongan itulah yang menempel rapat, lalu menjahit luka tipis di atas luka lama. Engkau pun sampai pada kesadaran ironis bahwa yang bertahan justru halhal yang tak pernah benarbenar datang.

Di jeda panjang berikutnya, kau bertanya kembali: jika rasa ini tak berbalas, masih layakkah ia disebut cinta? Jawabannya datang perlahan. Seperti hujan yang berubah gerimis, ia tidak menggelegar, melainkan menetes dalam kesabaran. Cinta ternyata bernilai karena keberadaannya, bukan karena imbalannya. Meski begitu, kebutuhan untuk diakui tetap menekan dadamu, menciptakan kekosongan laksana kursi kosong di sudut ruang tamu yang setiap hari terhias rindu.

Keinginan melarikan diri kadang tumbuh diamdiam. Kau membayangkan menutup diari, menambatkan hati di dermaga baru, dan menghapus jejaknya dari ingatan. Akan tetapi setiap langkah menjauh justru membuatmu kembali menoleh, seperti anak takut kehilangan arah pulang. Harapan tipis yang tersisa mengikat pergelangan kakimu, menarikmu lagi ke lingkar semula.

Sampai pada suatu sore, kelelahanmu mencapai puncak. Kau menatap cermin, mendapati sorot mata yang merindukan keleluasaan. Di sanalah keberanian baru muncul. Kau memutar gagang pintu batin yang lama terkunci dan menemukan halaman luas di baliknya. Ternyata matahari tetap bersinar tanpa memerlukan izin. Sejak momen itu, kau memahami bahwa pintu keluar sebenarnya menunggu dibuka oleh tanganmu sendiri.

Meski demikian, bayangan pertemuan ulang belum sepenuhnya pudar. Sesekali kau membayangkan duduk di bangku taman ketika ia lewat. Kalian bertukar senyum singkat, bertanya kabar secukupnya, lalu melanjutkan langkah ke arah berbeda. Dalam skenario itu, tidak ada drama ataupun penebusan. Ada rasa ringan karena kesadaran bahwa beberapa kisah selesai tanpa tepukan tangan dan tak apaapa bila terjadi demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline